Pada akhirnya, Mega sebagai Ketum PDI Perjuangan mengambil sikap memajukan Bobby Nasution sebagai calon wali kota dengan prospek politik menghargai Jokowi.
Tentu majunya Gibran sebagai cawapres sebagai penantang dari pasangan yang diusung oleh PDI Perjuangan adalah trigger memburuknya relasi Mega dan Jokowi.
Apalagi pada prosesnya, pencalonan Gibran melalui proses yang tidak wajar di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan berubahnya syarat pencalonan Capres/Cawapres, yaitu minimal 35 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Selanjutnya pada sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran etik berat hingga berujung diberhentikannya dari Ketua MK.
Kejadian di MK tentu membuat Mega marah. Alasannya kita tahu selama ini Mega sangat konsisten menjaga dan menjalankan amanah konstitusi yang dibuktikan dengan penolakannya terhadap wacana perpanjangan jabatan presiden atau amandemen konstitusi presiden tiga periode.
Selain itu pendirian MK lahir di masa kepresidenan Mega yang diyakini menjadi salah satu warisan (legacy) putri Sang Proklamator tersebut terkait pelembagan hukum di Indonesia.
Pada perjalannya relasi Mega dan Jokowi semakin memburuk. Puncaknya tentu saja ketika Jokowi lebih memilih melakukan perjalanan ke luar negeri daripada menghadiri perayaan Ulang Tahun ke-51 PDI Perjuangan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Lebih jauh, Jokowi bahkan tidak mengirimkan karangan bunga atau membuat video ucapan selamat kepada PDI Perjuangan.
Mega sejatinya adalah sosok politisi yang susah meledak-ledak dihadapan publik. Pada buku yang ditulis oleh August Parengkuan (2012) yang berjudul “Megawati: Anak Putera Sang Fajar” dijelaskan bahwa ketika sedang gundah gulana, Mega banyak menyendiri.
Setelah pikirannya mulai tenang, ia akan pergi ke taman rumahnya yang banyak ditumbuhi pohon-pohon, anggrek nusantara dan bunga untuk berkontemplasi.
Artinya ketika Mega sudah menyampaikan isi pikirannya dalam gesture kemarahan dalam pidato politik di acara peringatan HUT PDI Perjuangan ke-51 dengan bahasa: “Kekuasaan itu tidak langgeng. Yang langgeng itu Yang di Atas (Tuhan). Kekuasaan akan berhenti, apa pun jabatannya” tentu memiliki makna mendalam dengan pra-kondisi peristiwa yang tidak biasa.
Pun secara tidak langsung, Mega seolah mengarahkan kalimat itu pada Jokowi atas peristiwa politik dalam beberapa bulan terakhir, yang mentautkan antara peristiwa MK, pencalonan Gibran dan relasi antara dirinya dan PDI Perjuangan terhadap Jokowi.
Jika kita sedikit melihat kebelakang pada peristiwa proses pencapresan Jokowi, khususnya beberapa bulan sebelum Pemilu 2014 yang kala itu menurut berbagai lembaga survei elektabilitas PDI Perjuangan adalah 16-17 persen. Kita akan melihat bagaimana prospek efek ekor jas yang diharapkan oleh Mega dan PDI Perjuangan terhadap pencapresan Jokowi.
Pada Januari 2014, beberapa lembaga survei merilis soal elektabilitas PDI Perjuangan jika mencalonkan Jokowi.
Lembaga Pol-Tracking Institute menyebutkan jika Jokowi maju sebagai calon presiden, maka perolehan PDI Perjuangan bisa mencapai 30,8 persen.