Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anwar Saragih
Peneliti

Kandidat Doktor Ilmu Politik yang suka membaca dan menulis

Kemarahan Megawati dan Efek Elektoral Jokowi terhadap PDI Perjuangan

Kompas.com - 15/01/2024, 06:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JIKA seorang penulis ingin menulis skenario terbaik dalam perjalanan karier politisi di Indonesia, maka nama Megawati Soekarnoputri adalah salah satu politisi paling pantas dalam catatan itu.

Ia adalah satu-satunya politisi yang masih eksis hingga saat ini sebagai sosok yang mampu bertahan melalui 3 (tiga) masa periode kekuasan, yaitu periode kepemimpinan ayahnya Presiden Sukarno, periode Presiden Soeharto di masa Orde Baru dan periode reformasi.

Pun pada setiap perjalanan politik Mega, ia kerap menghadapi perselisihan politik dari orang terdekatnya yang kadang membuatnya merasa dikhianati.

Mulai dari; kudeta Soerjadi terhadapnya pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Medan 1996, Pembentukan Poros Tengah oleh Amien Rais yang dianggapnya melanggar komitmen Kesepaktan Ciganjur 1999 soal pemilihan presiden di MPR, majunya Susilo Bambang Yudhonono (SBY) sebagai capres di Pilpres 2004 dan majunya putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres di Pilpres 2024 untuk melawan kandidat Ganjar-Mahfud yang diusung PDI Perjuangan.

Lebih lanjut, baik Soerjadi, Amien Rais, SBY hingga Jokowi pada masanya adalah orang-orang yang pernah dekat secara pribadi dan emosional dengan Mega.

Secara politik, Mega selalu mengambil pilihan hitam putih dalam kerja sama politik. Ia sejatinya bukan sosok yang pendendam. Mega tidak pernah melakukan balas dendam dengan memakai hukum dan kekuasaan dalam menghajar lawan politiknya di masa lalu ketika berkuasa.

Sekali pun terhadap Presiden Soeharto, sosok yang menjadi lawan politik Mega di masa Orde Baru.

Namun sekali pun sifat Mega tidak pendendam, ia bukanlah tipe politisi yang mudah melupakan kejadian masa lalu dengan konsekuensi terputusnya kerja sama politik di masa depan dengan orang-orang yang dianggap pernah dekat dengannya, tapi melanggar komitmen.

Perseteruan dengan Amien Rais dan SBY di masa lalu adalah bukti tersahih bagaimana Mega tidak pernah membuka ruang kerja sama strategis dalam politik nasional hingga hari ini.

Relasi Mega-Jokowi

Sejak PDI Perjuangan mencalonkan dan berhasil memenangkan Jokowi di Pilkada DKI 2012, relasi Mega dan Jokowi menjadi sangat dekat.

Mega dalam pidato politiknya dihadapan para kader PDI Perjuangan beberapa kali mengibaratkan dirinya adalah “Mpok” atau kakak perempuan dari Jokowi.

Kemesraan ini berlanjut dengan surat rekomendasi dari PDI Perjuangan dalam pencapresan Jokowi di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

Bahkan demi Jokowi, Mega terpaksa menggunakan hak prerogatifnya sebagai ketua umum dalam pencalonan Gibran maju sebagai Calon Wali Kota Surakarta dan pencalonan menantu Jokowi, Bobby Nasution maju sebagai Calon Wali Kota Medan pada Pilkada 2020.

Alasannya waktu itu, DPC PDI Perjuangan Kota Surakarta telah mengusulkan nama kader senior bernama Achmad Purnomo untuk maju sebagai calon wali kota. Demi menjaga hubungan dengan Jokowi, Mega akhirnya memutuskan nama Gibran.

Situasi yang sama juga terjadi di Kota Medan, kala DPC PDI Perjuangan Kota Medan telah mengusulkan nama kader senior Akhyar Nasution maju sebagai calon wali kota.

Pada akhirnya, Mega sebagai Ketum PDI Perjuangan mengambil sikap memajukan Bobby Nasution sebagai calon wali kota dengan prospek politik menghargai Jokowi.

Tentu majunya Gibran sebagai cawapres sebagai penantang dari pasangan yang diusung oleh PDI Perjuangan adalah trigger memburuknya relasi Mega dan Jokowi.

Apalagi pada prosesnya, pencalonan Gibran melalui proses yang tidak wajar di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan berubahnya syarat pencalonan Capres/Cawapres, yaitu minimal 35 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah.

Selanjutnya pada sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran etik berat hingga berujung diberhentikannya dari Ketua MK.

Kejadian di MK tentu membuat Mega marah. Alasannya kita tahu selama ini Mega sangat konsisten menjaga dan menjalankan amanah konstitusi yang dibuktikan dengan penolakannya terhadap wacana perpanjangan jabatan presiden atau amandemen konstitusi presiden tiga periode.

Selain itu pendirian MK lahir di masa kepresidenan Mega yang diyakini menjadi salah satu warisan (legacy) putri Sang Proklamator tersebut terkait pelembagan hukum di Indonesia.

Pada perjalannya relasi Mega dan Jokowi semakin memburuk. Puncaknya tentu saja ketika Jokowi lebih memilih melakukan perjalanan ke luar negeri daripada menghadiri perayaan Ulang Tahun ke-51 PDI Perjuangan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Lebih jauh, Jokowi bahkan tidak mengirimkan karangan bunga atau membuat video ucapan selamat kepada PDI Perjuangan.

Efek elektoral Jokowi ke PDI Perjuangan

Mega sejatinya adalah sosok politisi yang susah meledak-ledak dihadapan publik. Pada buku yang ditulis oleh August Parengkuan (2012) yang berjudul “Megawati: Anak Putera Sang Fajar” dijelaskan bahwa ketika sedang gundah gulana, Mega banyak menyendiri.

Setelah pikirannya mulai tenang, ia akan pergi ke taman rumahnya yang banyak ditumbuhi pohon-pohon, anggrek nusantara dan bunga untuk berkontemplasi.

Artinya ketika Mega sudah menyampaikan isi pikirannya dalam gesture kemarahan dalam pidato politik di acara peringatan HUT PDI Perjuangan ke-51 dengan bahasa: “Kekuasaan itu tidak langgeng. Yang langgeng itu Yang di Atas (Tuhan). Kekuasaan akan berhenti, apa pun jabatannya” tentu memiliki makna mendalam dengan pra-kondisi peristiwa yang tidak biasa.

Pun secara tidak langsung, Mega seolah mengarahkan kalimat itu pada Jokowi atas peristiwa politik dalam beberapa bulan terakhir, yang mentautkan antara peristiwa MK, pencalonan Gibran dan relasi antara dirinya dan PDI Perjuangan terhadap Jokowi.

Jika kita sedikit melihat kebelakang pada peristiwa proses pencapresan Jokowi, khususnya beberapa bulan sebelum Pemilu 2014 yang kala itu menurut berbagai lembaga survei elektabilitas PDI Perjuangan adalah 16-17 persen. Kita akan melihat bagaimana prospek efek ekor jas yang diharapkan oleh Mega dan PDI Perjuangan terhadap pencapresan Jokowi.

Pada Januari 2014, beberapa lembaga survei merilis soal elektabilitas PDI Perjuangan jika mencalonkan Jokowi.

Lembaga Pol-Tracking Institute menyebutkan jika Jokowi maju sebagai calon presiden, maka perolehan PDI Perjuangan bisa mencapai 30,8 persen.

Lembaga Indo Barometer menyebutkan jika PDI Perjuangan mencapreskan Jokowi, maka suaranya akan menembus 35,8 persen.

Lembaga CSIS merilis soal suara PDI Perjuangan akan di atas 30 persen jika pencalonan Jokowi dilakukan oleh PDI Perjuangan.

Pada Maret 2014, Jokowi akhirnya resmi dicapreskan oleh PDI Perjuangan. Namun efek ekor jas yang diharapkan atas pencalonan Jokowi oleh PDI Perjuangan tidak terjadi karena pada Pileg 9 April 2014 suara PDI Perjuangan hanya 18,95 persen (109 kursi) di DPR.

Situasi ini tentu menjadi sangat rumit mengingat sosok Jokowi yang diharapkan bisa menaikkan suara partai secara signifikan sebenarnya tidak terjadi.

Pun dengan Pileg 2019, suara PDI Perjuangan tidak mengalami kenaikan signifikan mengingat telah 5 (lima) tahun berkuasa, yaitu 19,33 persen atau 128 kursi di DPR serta lagi-lagi suara PDI Perjuangan belum mampu menyentuh angka 20 persen.

Melihat fakta politik ini, pidato Mega dalam HUT-51 PDI Perjuangan sejatinya sangat relevan bahwa partai berlambang banteng itu besar bukan karena jabatan presiden atau jabatan menteri para kadernya, tapi karena rakyat.

PDI Perjuangan bertumpu pada prinsip tertib ideologi, tertib organisasi, kaderisasi yang efektif hingga kemampuan partai dalam merawat suara akar rumput.

Tentu hal ini akan diuji kembali pada 14 Februari 2024 mendatang, dengan asumsi bila suara partai berlambang banteng itu konstan atau mengalami kenaikan, maka efek elektoral Jokowi benar-benar tidak ada pengaruhnya terhadap PDI Perjuangan.

Sebaliknya, bila suara PDI Perjuangan di Pemilu 2024 terjun bebas dari hasil Pemilu 2019, maka tesis faktor Jokowi sebagai sosok utama kenaikan PDI Perjuangan adalah benar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Draf RUU Penyiaran, KPI Bisa Selesaikan Sengketa Jurnalistik Khusus

Draf RUU Penyiaran, KPI Bisa Selesaikan Sengketa Jurnalistik Khusus

Nasional
Dukung Event Seba Baduy 2024, Wika Beri Diskon Tarif Tol Serang-Panimbang hingga 30 Persen

Dukung Event Seba Baduy 2024, Wika Beri Diskon Tarif Tol Serang-Panimbang hingga 30 Persen

Nasional
Jokowi Anggarkan Rp 15 Triliun untuk Perbaikan dan Pembangunan Jalan Tahun Ini

Jokowi Anggarkan Rp 15 Triliun untuk Perbaikan dan Pembangunan Jalan Tahun Ini

Nasional
TNI AL Terjunkan Satgas SAR Bantu Cari Korban Banjir Sumbar

TNI AL Terjunkan Satgas SAR Bantu Cari Korban Banjir Sumbar

Nasional
UKT Mahal, Komnas HAM Akan Audit Hak Atas Pendidikan

UKT Mahal, Komnas HAM Akan Audit Hak Atas Pendidikan

Nasional
Hasto Ungkap Peluang Megawati Bertemu Prabowo: Saat Agenda Nasional

Hasto Ungkap Peluang Megawati Bertemu Prabowo: Saat Agenda Nasional

Nasional
KPK Tahan 3 Tersangka Dugaan Korupsi Penggelembungan Harga Lahan Tebu PTPN XI

KPK Tahan 3 Tersangka Dugaan Korupsi Penggelembungan Harga Lahan Tebu PTPN XI

Nasional
Selain Khofifah, PDI-P Buka Opsi Usung Kader Sendiri di Pilkada Jatim

Selain Khofifah, PDI-P Buka Opsi Usung Kader Sendiri di Pilkada Jatim

Nasional
DPR dan Pemerintah Diam-diam Rapat Pleno, Revisi UU MK Tinggal Dibawa Ke Paripurna

DPR dan Pemerintah Diam-diam Rapat Pleno, Revisi UU MK Tinggal Dibawa Ke Paripurna

Nasional
Ungkap Sulitnya Jaga Harga Beras, Jokowi: Bikin Ibu-ibu dan Petani Senang Tidak Mudah

Ungkap Sulitnya Jaga Harga Beras, Jokowi: Bikin Ibu-ibu dan Petani Senang Tidak Mudah

Nasional
Program 'DD Farm' Bantu Hidup Meltriadi, dari Mustahik Jadi Peternak

Program "DD Farm" Bantu Hidup Meltriadi, dari Mustahik Jadi Peternak

Nasional
Formappi Soroti Kinerja DPR, Baru Sahkan UU DKJ dari 47 RUU Prioritas di 2024

Formappi Soroti Kinerja DPR, Baru Sahkan UU DKJ dari 47 RUU Prioritas di 2024

Nasional
Penayangan Ekslusif Jurnalistik Investigasi Dilarang dalam Draf RUU Penyiaran

Penayangan Ekslusif Jurnalistik Investigasi Dilarang dalam Draf RUU Penyiaran

Nasional
Jokowi Resmikan 22 Ruas Jalan Daerah di Sultra, Gelontorkan Anggaran Rp 631 Miliar

Jokowi Resmikan 22 Ruas Jalan Daerah di Sultra, Gelontorkan Anggaran Rp 631 Miliar

Nasional
Gerindra: Jangan Harap Kekuasaan Prabowo Jadi Bunker Buat Mereka yang Mau Berbuat Buruk

Gerindra: Jangan Harap Kekuasaan Prabowo Jadi Bunker Buat Mereka yang Mau Berbuat Buruk

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com