Di sanalah relasi antara kekuasaan dan pengetahuan yang ditulis Foucault (1980) melalui power and knowledge.
Hasil penelitian para akademisi dapat bertemu dengan gagasan bernas kandidat. Gagasan mereka perlu diuji dengan kritis dan terbuka sebelum akhirnya diimplementasikan.
Filsuf Jurgen Habermas (2007) mengingatkan kita semua terkait urgensi ruang publik. Dalam diskursus ruang publik itulah memungkinkan adanya kesetaraan.
Kandidat yang satu menguji rasionalitas kandidat yang lain. Mempertanyakan atas visi misi yang telah dibuat dan arah kebijakan selama lima tahun kedepan.
Perdebatan politik yang muncul berdasarkan rasionalitas dan inklusifitas justru memungkinkan adanya timbal balik dalam komunikasi yang tidak satu arah.
Seharusnya para kandidat di sini memunculkan inovasi dan kreatifitasnya. Jangan malah mangkir dan tidak menjawab substansi permasalahan karena terlalu mengedepankan hal yang pragmatis dan oportunis. Hanya mementingkan kemenangan semata.
Apabila dalam panggung debat kondisi seperti itu terus dipertahankan, maka debat hanya mempertontonkan kedangkalan berpikir.
Bukan hanya kandidat, program dan visi misi juga harus dapat diterjemahkan dengan baik oleh para tim kampanye pemenangan sehingga bisa terintegrasi sampai akar rumput.
Orientasi kemenangan memang penting, tetapi ada hal yang lebih substansi dari itu terkait dengan pertaruhan bangsa dan negara kedepan.
Kita masih memiliki waktu untuk menjadikan panggung debat ini sebagai kampanye dialektis dan berkualitas. Para pemimpin bangsa hendaknya bisa naik kelas menjadi negarawan.
Jika yang ada di pikiran para kandidat memenangi debat lewat cerdas cermat, maka betapa jauhnya dari sejarah, karakter, dasar nilai, dan prinsip-prinsip konstitusi kita (Nashir, 2024).
Para kandidat harusnya menjadi teladan dengan penampilan debat yang elegan dan beretika. Jika debat hanya dijadikan ajang saling serang, maka justru mengurangi marwah debat.
Selain itu, gerakan dan teriakan dari tim pendukung yang berpotensi menganggu jalannya debat diharapkan tidak lagi terjadi karena sangat menganggu konsentrasi kandidat, mengaburkan substansi debat dan terjadi perang psikologis antarpendukung.
Komisi Pemilihan Umum sebaiknya melakukan evaluasi agar tim pendukung yang hadir tidak lebih dari 20 orang.
Sebelumnya di debat pertama, kedua dan ketiga jumlah tim pendukung sebanyak 75 orang sangat tidak efektif dan justru menganggu debat yang sedang berlangsung.
Organisasi masyarakat, NGO dan LSM yang bergerak di isu yang sangat relevan dengan tema debat malah banyak yang tidak diundang untuk hadir. Padahal, mereka inilah yang melakukan advokasi dan memahami permasalahan riil di lapangan.
Dengan memanfaatkan momentum debat sebagai sarana edukasi, maka semua pihak tentu berharap demokrasi pasca-Pemilu 2024 bisa semakin lebih baik.
Sejatinya, debat kandidat lebih mendidik dan substantif dengan meyakinkan para pemilih melalui visi, misi dan program sehingga pemilu menjadi lebih bermakna.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.