Melalui Jurnal Psichological Science dan surat kabar New York Times, Maria Konnikova (2014) pernah mengulas kebiasaan Lincoln seperti berikut:
"Whenever Abraham Lincoln felt the urge to tell someone off, he would compose what he called a ’hot letter’. He’d pile all of his anger into a note, ‘put it aside until his emotions cooled down’…and then write: ‘never sent. Never signed."
Pada saat-saat Abraham Lincoln merasa harus mengirimkan pesan atau merespons seseorang dengan keras, ia menyusun kalimatnya dalam format yang disebut ‘hot letter’.
Dia tuangkan kemarahannya melalui tulisan, dan tulisan itu disimpan di lacinya sampai emosinya benar-benar reda.
Di atas amplop atau tulisan yang disusunya, diberi tanda: “jangan pernah dikirim, dan jangan pernah ditandatangani”.
Pesan moral dari cerita ini adalah, siapapun memang bisa marah, apalagi para pemimpin besar. Namun kesadaran sebagai pemimpin membuat mereka mencari cara, bagaimana menata dan mengelola amarah itu.
Ketika emosi demikian tinggi, salurkan kemarahan itu dengan menulis secara detail, curahkan amarah itu, tetapi simpanlah di laci (atau mungkin di hati), sampai benar-benar emosi kita reda.
Menariknya adalah, kebiasaan menulis “hot letter” tidak saja dilakukan oleh Lincoln seorang. Rupanya, sejumlah figur publik dan tokoh-tokoh besar juga mempraktikkan kebiasaan serupa, termasuk Presiden Harry Truman, Mark Twain (tokoh yang sering disebut "the Father of American Literature"), dan Perdana Menteri legendaris Winston Churchill, dari Inggris.
Kembali pada suasana politik Indonesia kini, sangat mungkin hari-hari mendatang suhu politik akan semakin panas karena mendekati saat-saat yang menentukan.
Menjalani hari-hari ke depan, alangkah indahnya bila para tokoh yang sedang berkompetisi menyadari seluruh pilihan kata, bahasa tubuh, dan tindak tanduknya niscaya menjadi perhatian publik.
Mengambil teladan dari salah satu sisi kepemimpinan seorang Abraham Lincoln mungkin ada sebagian yang berkata miring, “ah, terlalu jauh”.
Namun tak salah rasanya bila ada kesadaran untuk “meregulasi” emosi (meminjam istilah Dokter Mesty), dengan memilih diksi dan perilaku yang menyejukkan suasana.
Sebagai presiden legendaris, bila kita pelajari karakter yang disematkan kepada Abraham Lincoln, maka ia dikenang sebagai pribadi hangat, murah hati, jujur, hormat pada lawan politik, penuh kehati-hatian, tetapi tetap menjadi pribadi yang memegang teguh prinsip dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Tidakkah para pemimpin kita ingin dikenang dengan atribut baik seperti ini?
Sebagai pemimpin, sejatinya setiap diri, setiap hari, setiap langkah dan tindakan adalah merupakan proses menulis sejarah.
Patut pula diingat bahwa tugas paling mulia dari para pemimpin adalah memberikan teladan terbaik, dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Maka itu jagalah hati dan kendalikan emosi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.