Maknanya, seorang presiden haruslah memiliki kemampuan dan kapasitas untuk merencanakan dan berpikir jangka panjang, mengeksekusi rencana, menunjukkan kamampuan dalam mengendalikan keadaan, dan mampu menjalankan tugas-tugas secara simultan, tetap mampu menjaga fokus meskipun dalam tekanan dan gangguan yang menderanya.
Hanya dengan kemampuan yang memadai dalam mengendalikan emosi, maka kapasitas sebagai eksekutif puncak dapat dilaksanakan.
Dalam sejarah demokrasi Amerika Serikat yang sangat panjang, kita tentu mengenal Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16. Lincoln adalah seorang Presiden legendaris.
Terlahir sebagai anak petani, di Hardin County, Kentucky, pada 12 Februari 1809. Ia menjadi pemimpin negara dalam keadaan yang oleh para penulis sejarah para presiden disebut sebagai “memimpin dalam situasi yang paling sulit”.
Masa kecilnya yang sulit mengharuskan dirinya menjadi pekerja keras. Walau memiliki pendidikan formal yang terbatas, Lincoln kecil amat rajin membaca, dan terus menjalankan political schooling dengan kemampuannya sendiri.
Di masa mudanya, ia menjalankan praktik sebagai penasihat hukum di Springfield, Illinois. Reputasinya sebagai pengacara yang jujur dan menjaga etika profesi membuat kepemimpinannya dikenal luas.
Inillah yang lantas menjadi pembuka jalan bagi karier politiknya, hingga menjadi Presiden Amerika Serikat, pada 1860.
Janji politik yang sangat kuat ia perjuangkan adalah menghentikan perbudakan. Langkah revolusioner yang diambil adalah mengumumkan Proklamasi Emansipasi pada 1863, yang memicu perang saudara antara negara bagian yang pro dan yang kontra perbudakan.
Nasib tragis harus dialami Abraham Lincoln. Pada 14 April 1865, Lincoln terbunuh oleh John Wilkes Booth hanya beberapa hari setelah Perang Saudara berakhir.
Tentu saja, kematian Lincoln menjadi pukulan berat bagi bangsa Amerika yang tengah menyembuhkan luka-luka sejarah akibat perang saudara.
Namun demikian, warisan Lincoln berupa tekad untuk menyatukan negara, mengakhiri perbudakan, dan mempertahankan nilai-nilai demokrasi, terpatri kuat di hari rakyat.
Dalam pidatonya di Gettysburg yang sangat masyhur itu, Lincoln menegaskan tekadnya untuk menciptakan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Hingga kini, Abraham Lincoln tetap menjadi salah satu presiden yang paling dihormati dalam sejarah Amerika. Kepintarannya, integritasnya, dan keteguhan hatinya memperkuat fondasi nilai-nilai Amerika Serikat.
Tak heran, sampai hari ini tidak kurang dari 15.000 buku tentang Lincoln telah ditulis oleh ribuan sejarawan dan penulis buku politik.
Di antara cerita yang menarik, yang mungkin relevan dengan suasana kekinian para calon presiden Republik Indonesia, adalah cara Abraham Lincoln mengontrol emosinya.
Sebagai manusia biasa, Lincoln tentu sering dibuat berang atau harus merespons tekanan dari lawan-lawan politiknya. Yang menarik, ia punya kiat yang sampai sekarang masih dibahas dalam buku-buku psikologi dan politik.
Pada setiap suasana dia sedang emosional, dia tuangkan kata-kata yang sarat emosi itu di atas kertas, tetapi tulisan itu tidak lantas dikirimkan kepada pihak yang hendak diresponnya.
Surat-surat atau pesan-pesan yang tak terkirim ini dikenal dengan sebutan “hot letter”.