Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senjakala Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Kompas.com - 06/01/2024, 20:46 WIB
Vitorio Mantalean,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Riezky Aprilia dibawa ke sebuah kamar di Hotel Shangri-La Orchard, Singapura, pada 24 September 2019 sore. Jantungnya berdebar karena tak tahu ada urusan apa ia dibawa ke sana bersama Saeful Bahri.

Rupanya, Saeful menawarkan uang sekitar Rp 2,2 miliar untuk membayar perolehan suara yang diraup Riezky pada Pemilu Legislatif (Pileg) DPR RI 2019.

"Suara saya mau diganti, satu suara saya jadi Rp 50.000. Maksudnya, suara saya 44.402, satu suara diganti nominal Rp 50.000," tutur Riezky dalam sidang online atas terdakwa Saeful Bahri di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 23 April 2020.

Baca juga: Pimpinan KPU Dinilai Keliru soal Ubah Aturan Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Riezky dan Saeful sama-sama kader PDI-P. Riezky berlaga di daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR RI.

Di dapil itu, suara terbanyak PDI-P disumbang Nazaruddin Kiemas, adik ipar Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang wafat sebelum pemungutan suara tetapi namanya kadung tercetak di surat suara sehingga dapat dicoblos oleh pemilih.

Sesuai Peraturan KPU (PKPU) 3/2019, suara Nazaruddin pun dianggap sebagai suara PDI-P.

KPU lalu melakukan penghitungan ulang dan menyatakan Riezky berhak duduk di Senayan selaku caleg dengan suara terbanyak setelah Nazaruddin.

Masalahnya, PDI-P ngotot, seharusnya mereka yang berwenang menentukan kader pengganti Nazaruddin di Senayan.

Mereka ingin kursi Nazaruddin jatuh kepada Harun Masiku, bukan Riezky meski suara Masiku nomor 3 dari bawah (5.878 suara).

PDI-P menempuh berbagai langkah hukum, dari KPU hingga Mahkamah Agung (MA).

Putusan MA mengabulkan sebagian gugatan PDI-P yang kemudian dianggap dapat menjadi dasar hukum menggusur Riezky. Namun, KPU tetap menolak.

Baca juga: Ketua KPU Sebut Tak Punya Niat Bohongi Publik soal Aturan Keterwakilan Perempuan

Jalan belakang pun diambil. Pada 8-9 Januari 2020, KPK menjaring komisioner KPU RI Wahyu Setiawan dalam operasi tangkap tangan (OTT).

Ia menerima suap dari Saeful bersama komisioner Bawaslu RI Agustina Fridelina sekitar Rp 600 juta memuluskan langkah Masiku.

Masiku pun dipecat partai dan gagal mencuri kursi Riezky yang berkiprah di Komisi IV DPR RI hingga 2024 mendatang.

Tangga curam bagi perempuan

Apa yang dialami Riezky hanya salah satu bentuk kerentanan yang dihadapi perempuan kala memutuskan terjun ke kancah politik praktis.

Tak hanya rawan digusur dominasi laki-laki yang masih hegemonik. Untuk tembus panggung politik pun, perempuan yang dalam budaya patriarki kerap diasingkan ke ranah domestik, mesti menempuh jalan tak semulus kaum adam.

"Pertama, barrier psikologis. Perempuan masih merasa tidak percaya diri berkompetisi dengan laki-laki, merasa tidak mampu, merasa dunia politik terlalu maskulin," ujar Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, ketika dihubungi Kompas.com pada Sabtu (6/1/2024).

"Faktor ekonomi juga menghambat. Tidak banyak perempuan punya akses terhadap sumber daya ekonomi, baik dari dirinya sendiri maupun dukungan keluarga dan partai politik. Perempuan itu garis start-nya masih jauh di belakang ketimbang laki-laki," kata dia.

Ketidaksetaraan garis start ini membuat kebijakan afirmasi mutlak diperlukan agar lebih banyak perempuan dapat duduk di posisi pengambil kebijakan.


Semangat Reformasi ini telah dicerminkan dalam pengarusutamaan gender yang diteken Presiden Abdurrahman Wahid lewat Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000.

UU Pemilu yang terbit pada 2003 pun akhirnya memuat kebijakan afirmasi politik perempuan, hasil desakan dan advokasi sederet aktivis dan lembaga swadaya masyarakat.

Afirmasi itu bertahan sampai UU Pemilu direvisi berkali-kali.

UU Pemilu terkini yang terbit pada 2017 tetap memuat semangat yang sama pada Pasal 245, yaitu partai politik harus menyerahkan minimum 30 persen caleg perempuan di setiap dapil, sebagai syarat pendaftaran pileg.

"Ini gerakan reformasi elektoral, program advokasi bertahun-tahun," kata komisioner Bawaslu RI 2008-2012 yang kini aktif di Maju Perempuan Indonesia, Wahidah Suaib, pada 7 Maret 2023.

Perjuangan tampak membuahkan hasil. Proporsi caleg perempuan di surat suara terus merangkak naik, mulai dari 29 persen (2004), 33,6 persen (2009), 37,6 persen (2014), dan 40 persen (2019).

Namun, hal itu belum berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan ke parlemen yang diharapkan mencapai 30 persen. Hanya 11,8 persen caleg perempuan duduk di Senayan lewat Pileg 2004, lalu 18 persen (2009), 17 persen (2014), dan 20 persen (2019).

Baca juga: Bawaslu: KPU Langgar Administrasi karena Keterwakilan Caleg Perempuan Tak Capai 30 Persen

Di saat kesempatan perempuan berlayar menggapai kursi dewan masih jauh dari angan besar, angin besar justru menerjang jelang Pemilu 2024.

KPU sebagai penyelenggara pemilu justru menciptakan tafsir yang tak ramah gender lewat pembulatan ke bawah, seandainya hitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.

Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya sama dengan 2,4.

Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, berlaku pembulatan ke bawah.

Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.

Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen pada setiap dapil.

Ini kemunduran serius. Pembulatan ke bawah yang diatur Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023 tersebut secara matematis membonsai hak 684 perempuan mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI melalui dapil yang alokasi kursinya berjumlah 4, 7, 8, dan 10.

Lemahnya komitmen negara

Usut-punya usut, biang keroknya terjadi ketika KPU rapat konsinyering dengan anggota partai politik Komisi II DPR RI pada Mei 2023.

Rapat ini menganulir draf rancangan PKPU 10/2023 yang telah diuji publik pada 8 Maret 2023.

Padahal, pada draf itu, KPU masih mengatur pembulatan ke atas untuk berapa pun angka di belakang koma.

"Beberapa teman (partai politik di) DPR punya masalah memenuhi kuota (keterwakilan 30 persen caleg perempuan)," kata anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera, mengonfirmasi dinamika dalam rapat konsinyering, kepada Kompas.com, 8 Mei lalu.

Baca juga: Bikin Aturan yang Ancam Keterwakilan Perempuan di Parlemen, 7 Anggota KPU RI Disidang DKPP

Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik juga membenarkan bahwa metode pembulatan ke bawah itu hasil kesepakatan dengan partai politik, dengan dalih sesuai kaidah matematis.

Situasi ini dinilai membuktikan bahwa partai politik tak berkomitmen terhadap afirmasi politik perempuan yang celakanya direstui KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu yang lahir dari rahim Reformasi.

"Partai hanya merekrut perempuan untuk memenuhi syarat administrasi agar bisa ikut pemilu. Ini bisa kita lihat, misalnya, partai politik baru sibuk mencari (caleg) perempuan menjelang pemilu," kata Hurriyah.

Menurut riset Puskapol UI, partai politik juga enggan memberi pembekalan untuk para caleg perempuan bertarung.

Caleg perempuan yang berangkat dari nol cenderung tertinggal dalam keadaan bingung, tanpa mentor, dan miskin taktik di medan tempur.

"Sekitar 40 persen perempuan yang terpilih pada Pileg DPR RI 2019 adalah mereka yang punya hubungan kekerabatan dan kedekatan dengan elite. Di peringkat kedua, mereka (perempuan) yang popularitasnya tinggi saja, seperti artis atau selebritis," ucap Hurriyah.

Baca juga: Bawaslu Tegur Pimpinan KPU yang Absen Sidang Jumlah Caleg Perempuan

Banyak aktivis perempuan, beberapa di antaranya eks komisioner lembaga penyelenggara pemilu seperti Wahidah serta eks komisioner KPU dan DKPP Ida Budhiati, mengecam KPU dan berbondong-bondong mendesak revisi aturan sungsang tersebut.

Mereka membentuk Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan yang juga digawangi lembaga-lembaga seperti Puskapol UI, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Kaukus Perempuan Parlemen (KPP).

Desakan itu seakan berhasil. Dalam jumpa pers, 10 Mei 2023, KPU, Bawaslu, dan DKPP setuju aturan itu segera direvisi.

"Pasal 8 Ayat (2) diubah menjadi '... dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas',” kata Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari saat itu.

Hasyim mengatakan, partai politik yang keterwakilan perempuannya tak memenuhi teknis penghitungan versi revisi boleh memperbaiki daftar bakal calon legislatifnya (bacaleg) pada masa pendaftaran hingga 14 Mei 2023.

Pembangkangan hukum?

Janji itu basa-basi belaka rupanya. Sampai proses pencalegan beres menjadi Daftar Calon Tetap (DCT) pada 3 November 2023 yang tak bisa diganggu-gugat, revisi itu hanya ucapan manis.

Padahal, sepanjang proses pencalegan, Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan sudah menang atas KPU RI secara hukum di 3 meja hijau.

Atas gugatan Koalisi, Putusan MA pada 29 Agustus 2023 menyatakan Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023 bertentangan dengan UU Pemilu serta memerintahkan KPU membatalkan beleid itu.

KPU tak merevisi apa pun dan hanya meminta partai politik mempedomani putusan itu untuk memperbaiki daftar calegnya.

Pada 25 Oktober 2023, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), juga atas gugatan Koalisi, menyatakan semua komisioner KPU RI melanggar etik.

Mereka dianggap tak independen membuat regulasi lantaran manut keinginan partai politik di Komisi II DPR RI.

Pada 29 November 2023, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, lagi-lagi atas gugatan Koalisi, menyatakan KPU RI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar administrasi pemilu.

Baca juga: Komnas HAM Sebut Pemerintah Langgar HAM jika Kuota Caleg Perempuan Tak 30 Persen

Bawaslu memberi KPU waktu 7 hari menindaklanjuti putusan itu, tetapi sampai sekarang tak ada tindak lanjut sama sekali atas DCT yang kadung ditetapkan.

Alhasil, pada Pileg DPR RI 2024, hanya 1 partai politik yang berhasil memenuhi target 30 persen caleg perempuan di setiap dapil DPR RI, yaitu PKS.

Tujuh belas partai politik lain gagal. Sebanyak 28 DCT partai politik tak memenuhi 30 persen perempuan pada Pileg DPR RI 2024.

"Jika KPU tetap meloloskan, dapat dikatakan KPU telah membangkang terhadap perintah UU dan juga putusan MA," ujar anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, kepada Kompas.com pada 7 November 2023.

Titi bersikeras bahwa partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan di suatu dapil seharusnya tidak diterima pengusulannya dan didiskualifikasi, sebab itu merupakan syarat pengajuan bakal caleg.

Sama halnya, KPU tak bisa menerima calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) usungan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan presiden 20 persen, sebab keterpenuhan ambang batas itu merupakan syarat pengajuan bakal capres-cawapres.

Sementara itu, Hasyim berdalih tidak terdapat ketentuan sanksi bagi partai politik yang gagal memenuhi syarat 30 persen caleg perempuan, sehingga langkah diskualifikasi tak mungkin ditempuh.

Mundur 10 tahun

Pembangkangan lintas sektor ini "sukses" menoreh tinta emas sejarah sepanjang perjuangan afirmasi politik perempuan pada Era Reformasi.

Sinetron lembaga-lembaga negara ini berakhir dengan episode pamungkas yang menggelitik.

Untuk pertama kalinya, proporsi jumlah caleg perempuan di surat suara berkurang dari 40 persen (2019) ke 37,07 persen (2024).

Angka ini lebih rendah dari Pileg 2014 (37,6 persen). Afirmasi politik perempuan mundur 10 tahun lebih.

PDI-P, partainya Riezky dan Masiku, menjelma partai politik paling miskin caleg perempuan setelah PKB, kendati dipimpin oleh ketua umum dan ketua bidang politik yang notabene perempuan: Megawati dan anaknya, Puan Maharani.

Baca juga: Caleg Perempuan Tak Capai Target di Banyak Dapil, KPU Dilaporkan ke Bawaslu

Segala keadaan ini menautkan benang merah antara peristiwa Harun Masiku dengan tumbangnya afirmasi perempuan pada Pileg 2024. Keduanya sama-sama menyangkut independensi KPU di hadapan partai politik untuk mengorbankan perempuan.

Ironisnya, Harun Masiku masih buron sampai sekarang. Sementara itu, Wahyu Setiawan, komisioner KPU RI yang disuap untuk mengganti nama Riezky dengan Masiku, sudah menghirup udara bebas walau hanya menjalani separuh vonisnya.

"Saya sudah bisa menduga, pada Pileg 2024, pasti angka keterpilihan perempuan juga akan rendah," kata Hurriyah.

Apalagi, lanjut dia, sebanyak 60 persen anggota DPR RI merupakan mereka yang bercokol di nomor urut 1 pada surat suara.

Sementara itu, mayoritas perempuan diletakkan pada nomor 3, yang peluang menangnya jauh lebih kecil.

Kabar ini jelas tak mengenakkan untuk negara yang indeks kesenjangan gendernya jalan di tempat, yakni stagnan di angka 0,697, berdasarkan Laporan World Economic Forum dalam Global Gender Gap Report (2023).

Indonesia juga duduk di peringkat 105 dari 193 negara di dunia soal keterwakilan perempuan di parlemen, berdasarkan skor Inter-parliamentary Union pada 2022.

Rwanda di Benua Afrika sana sanggup menempati peringkat pertama dengan 61,3 persen anggota dewan merupakan perempuan.

"Indonesia bahkan kalah dari Timor Leste, Vietnam, Laos, dan Filipina. Di Vietnam, jumlah perempuan sampai 29 persen di parlemen tingkat nasional. Padahal, bicara Vietnam dan Laos, mereka bukan negara demokrasi," kata Hurriyah.

Bukan hanya sedikit, perempuan Indonesia di parlemen pun jarang mendapatkan porsi strategis. Situasi ini dikhawatirkan akan semakin kelam pada keanggotaan DPR RI 2024-2029.


Menurunnya jumlah perempuan di parlemen dianggap akan berkontribusi pada hilangnya perspektif gender dalam penyusunan undang-undang.

"Ya sudah pasti tidak bisa memberikan pengaruh dan dampak terhadap (penyusunan) kebijakan. Infrastruktur, pembangunan jalan tol atau misalnya jembatan penyeberangan yang ramah ibu hamil kan butuh ada perspektif (gender)," ujar Ketua Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Rahayu Saraswati, kepada Kompas.com pada 9 Mei 2023 lalu.

"Adanya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak itu, kalau tidak ibu-ibu dan perempuan yang bersuara, maka akan sulit mempertahankannya. Bahkan, menambahkan cuti hamil, cuti melahirkan itu butuh perspektif perempuan," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah Lebih dari 16.000 Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Nasional
Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Nasional
Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Nasional
KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Nasional
Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Nasional
Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com