Pada 29 November 2023, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, lagi-lagi atas gugatan Koalisi, menyatakan KPU RI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar administrasi pemilu.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Pemerintah Langgar HAM jika Kuota Caleg Perempuan Tak 30 Persen
Bawaslu memberi KPU waktu 7 hari menindaklanjuti putusan itu, tetapi sampai sekarang tak ada tindak lanjut sama sekali atas DCT yang kadung ditetapkan.
Alhasil, pada Pileg DPR RI 2024, hanya 1 partai politik yang berhasil memenuhi target 30 persen caleg perempuan di setiap dapil DPR RI, yaitu PKS.
Tujuh belas partai politik lain gagal. Sebanyak 28 DCT partai politik tak memenuhi 30 persen perempuan pada Pileg DPR RI 2024.
"Jika KPU tetap meloloskan, dapat dikatakan KPU telah membangkang terhadap perintah UU dan juga putusan MA," ujar anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, kepada Kompas.com pada 7 November 2023.
Titi bersikeras bahwa partai politik yang gagal memenuhi 30 persen caleg perempuan di suatu dapil seharusnya tidak diterima pengusulannya dan didiskualifikasi, sebab itu merupakan syarat pengajuan bakal caleg.
Sama halnya, KPU tak bisa menerima calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) usungan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas pencalonan presiden 20 persen, sebab keterpenuhan ambang batas itu merupakan syarat pengajuan bakal capres-cawapres.
Sementara itu, Hasyim berdalih tidak terdapat ketentuan sanksi bagi partai politik yang gagal memenuhi syarat 30 persen caleg perempuan, sehingga langkah diskualifikasi tak mungkin ditempuh.
Pembangkangan lintas sektor ini "sukses" menoreh tinta emas sejarah sepanjang perjuangan afirmasi politik perempuan pada Era Reformasi.
Sinetron lembaga-lembaga negara ini berakhir dengan episode pamungkas yang menggelitik.
Untuk pertama kalinya, proporsi jumlah caleg perempuan di surat suara berkurang dari 40 persen (2019) ke 37,07 persen (2024).
Angka ini lebih rendah dari Pileg 2014 (37,6 persen). Afirmasi politik perempuan mundur 10 tahun lebih.
PDI-P, partainya Riezky dan Masiku, menjelma partai politik paling miskin caleg perempuan setelah PKB, kendati dipimpin oleh ketua umum dan ketua bidang politik yang notabene perempuan: Megawati dan anaknya, Puan Maharani.
Baca juga: Caleg Perempuan Tak Capai Target di Banyak Dapil, KPU Dilaporkan ke Bawaslu
Segala keadaan ini menautkan benang merah antara peristiwa Harun Masiku dengan tumbangnya afirmasi perempuan pada Pileg 2024. Keduanya sama-sama menyangkut independensi KPU di hadapan partai politik untuk mengorbankan perempuan.
Ironisnya, Harun Masiku masih buron sampai sekarang. Sementara itu, Wahyu Setiawan, komisioner KPU RI yang disuap untuk mengganti nama Riezky dengan Masiku, sudah menghirup udara bebas walau hanya menjalani separuh vonisnya.
"Saya sudah bisa menduga, pada Pileg 2024, pasti angka keterpilihan perempuan juga akan rendah," kata Hurriyah.
Apalagi, lanjut dia, sebanyak 60 persen anggota DPR RI merupakan mereka yang bercokol di nomor urut 1 pada surat suara.
Sementara itu, mayoritas perempuan diletakkan pada nomor 3, yang peluang menangnya jauh lebih kecil.
Kabar ini jelas tak mengenakkan untuk negara yang indeks kesenjangan gendernya jalan di tempat, yakni stagnan di angka 0,697, berdasarkan Laporan World Economic Forum dalam Global Gender Gap Report (2023).
Indonesia juga duduk di peringkat 105 dari 193 negara di dunia soal keterwakilan perempuan di parlemen, berdasarkan skor Inter-parliamentary Union pada 2022.
Rwanda di Benua Afrika sana sanggup menempati peringkat pertama dengan 61,3 persen anggota dewan merupakan perempuan.
"Indonesia bahkan kalah dari Timor Leste, Vietnam, Laos, dan Filipina. Di Vietnam, jumlah perempuan sampai 29 persen di parlemen tingkat nasional. Padahal, bicara Vietnam dan Laos, mereka bukan negara demokrasi," kata Hurriyah.
Bukan hanya sedikit, perempuan Indonesia di parlemen pun jarang mendapatkan porsi strategis. Situasi ini dikhawatirkan akan semakin kelam pada keanggotaan DPR RI 2024-2029.
Menurunnya jumlah perempuan di parlemen dianggap akan berkontribusi pada hilangnya perspektif gender dalam penyusunan undang-undang.
"Ya sudah pasti tidak bisa memberikan pengaruh dan dampak terhadap (penyusunan) kebijakan. Infrastruktur, pembangunan jalan tol atau misalnya jembatan penyeberangan yang ramah ibu hamil kan butuh ada perspektif (gender)," ujar Ketua Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia, Rahayu Saraswati, kepada Kompas.com pada 9 Mei 2023 lalu.
"Adanya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak itu, kalau tidak ibu-ibu dan perempuan yang bersuara, maka akan sulit mempertahankannya. Bahkan, menambahkan cuti hamil, cuti melahirkan itu butuh perspektif perempuan," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.