TAHUN 2023 kepastian tentang konstelasi politik nasional menjelang pemilihan umum 2024 ditentukan. Secara bertahap, nama-nama calon peserta pemilihan presiden Indonesia akhirnya diketahui publik.
Berbeda dengan tahun 2014 dan 2019 yang menghadirkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, tahun 2023 telah dipastikan bahwa peserta kontestasi pemilihan presiden untuk 2024 tidak lagi dua pasangan calon, tapi tiga.
Berita baiknya, formasi tersebut akan sangat membantu negeri ini meminimalisasi friksi politik dikotomis yang berlebihan, bahkan hilangnya nyawa anak negeri, yang sempat membuat negeri ini dihuni oleh dua pihak saja, yakni "kami" dan "mereka" alias cebong dan kampret.
Namun tahun ini juga menjadi salah satu tahun yang mendebarkan secara politik. Pasalnya, beberapa langkah politik yang diambil oleh beberapa elite tidak saja membuat kita mengerutkan dahi, tapi juga memancing rasa ketakutan tersendiri di dalam hati, terutama terkait dengan arah strategis bangsa ini secara politik ke depan.
Tahun 2023 menjadi bukti di mana beberapa elite sesumbar tentang kecintaannya kepada Indonesia, tapi justru mengambil langkah-langkah yang bisa membahayakan demokrasi yang telah dipatri secara konstitusional di negeri ini sepanjang usia republik ini.
Sinyal-sinyal "politik dinasti" mengemuka dengan sangat kentara. Walhasil, sinyal-sinyal pengeringan spirit demokrasi juga muncul bersamanya.
Celakanya, suara publik yang menolaknya pelan-pelan mulai ikut direkayasa agar terdengar sebagai suara sumbang semata.
Lihat saja, aturan main yang semestinya berlaku untuk semua pihak justru dibengkokkan hanya untuk memperlancar kelahiran "sungsang" satu calon pemimpin muda, yang dilabeli oleh media-media luar sebagai "the Nepo Baby".
"In the face of impossible odds, people who love this country can change it," kata Barack Obama pada suatu waktu.
Saya yakin, "change" yang dimaksud oleh Obama dalam kalimat itu adalah perubahan ke arah yang lebih baik, bukan sebaliknya.
Masalahnya di sini, para elite yang mengaku-ngaku mencintai negeri ini justru menginisiasi perubahan yang hanya bersesuaian dengan kepentingan politik jangka pendek mereka, tapi justru bisa membahayakan kepentingan strategis jangka panjang negeri dan rakyat di sini, yakni memajukan Indonesia dengan sistem demokratis, bukan dengan sistem lain.
Dengan kata lain, tahun 2023 menjadi fondasi strategis bagi Indonesia untuk menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan perubahan politik fundamental yang akan terjadi 2024.
Jika 2024 ternyata Indonesia melahirkan tatanan politik baru yang jauh dari cita-cita reformasi dan nilai-nilai demokrasi, maka kegagalan kita dalam mencegahnya pada 2023 adalah sebab utamanya.
Secara geopolitik, tahun 2023 melahirkan peristiwa global yang juga mengkhawatirkan kita. Jika 2022 kita menyaksikan baku hantam antara Rusia dan Ukraina, pada 2023 kita menyaksikan baku sikat antara Israel dan Hamas.
Kedua peristiwa tersebut memiliki "magnitude" yang sama secara geopolitik, yang bisa membuat goncangan strategis pada tatanan politik internasional yang sedang berlaku.