Karena kedua konflik bersenjata tersebut semakin memperjelas dikotomi geopolitik dunia, yakni antara Barat dan "Great Power" baru yang sedang mencoba menyainginya.
Ketegangan geopolitik tersebut memperburuk performa perekonomian dunia yang memang sudah buruk sejak ketegangan-ketegangan geopolitis mulai muncul beberapa tahun lalu. Walhasil, proyeksi pertumbuhan ekonomi global kian suram.
Kesuraman tersebut memancar secara global pula, yang kemudian ikut mempersulit kinerja ekonomi domestik, karena memengaruhi kinerja ekspor nasional Indonesia yang sejak awal tahun terus merosot, sekalipun masih menorehkan surplus.
Namun bagi Indonesia, terutama bagi Jokowi dan pemerintahannya, tahun 2023 adalah tahun pengokohan reputasi regional dan internasional.
Sebagai lanjutan peran Presidency G20 tahun 2022, yang pelaksanaan KTT-nya berlangsung dengan meriah di Pulau Bali, setahun kemudian, 2023, Indonesia juga memegang peranan yang sama di level ASEAN, yang acara puncaknya diadakan di Jakarta.
Secara teknis, kedua momen tersebut melahirkan berbagai pujian dari banyak kepala negara yang datang di satu sisi dan menjadikan Indonesia sebagai fokus sorotan Internasional di sisi lain.
Namun seiring dengan itu, reputasi yang telah dinikmati tersebut baru sebatas persepsi yang dinikmati oleh Indonesia secara internal.
Di saat Jokowi diutus oleh komunitas negara-negara Islam untuk membicarakan langkah damai di Gaza dengan Joe Biden, buah reputasi internasional tersebut nyatanya belum matang.
Kedatangan Jokowi kemudian menjadi sekadar seremonial saja, karena kecamuk di Gaza nyatanya berlanjut terus hingga hari ini.
Reputasi global yang dibangun atas dasar kemampuan tim "EO" kenegaraan dalam menyelenggarakan event global memang hanya untuk sekadar "tontonan".
Jadi tidak salah, Wakil Presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, menyandingkannya dengan "Hollywood", sebuah pujian yang seharusnya membuat Indonesia melakukan instrospeksi diri, bukannya justru membusungkan dada berbangga diri.
Kemudian, secara ekonomi, tahun 2023 menjadi tahun pertunjukan "batas atas" kinerja ekonomi nasional Indonesia. Setelah hampir tiga tahun dilingkupi pandemik, ekonomi Indonesia akhirnya mulai berjalan "as usual" sebagaimana sebelum pandemik.
Dan kinerja normal ekonomi tersebut tercermin dari angka raihan pertumbuhan ekonomi nasional yang tetap berada di batas atas yang sama dengan tahun-tahun sejak Jokowi berkuasa.
Dengan kata lain, tahun 2023 menjadi salah satu tahun terakhir Jokowi untuk membuktikan janjinya menghadirkan pertumbuhan ekonomi 7 persen untuk Indonesia yang ternyata masih jauh "panggang dari api". Jangankan 7 persen, 6 persen pun tak pernah dihampiri.
Jadi secara tak langsung sebenarnya tahun 2023 juga sekaligus menjadi tahun ke sembilan Jokowi berkuasa di mana angka pertumbuhan ekonomi nasional yang dijanjikan sejak dulu masih mengawang-awang di angkasa.