DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menggelar sidang pemeriksaan terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI buntut aduan dugaan pelanggaran etik dalam memproses pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
Kini publik sedang menanti putusan DKPP, apakah seluruh anggota komisioner KPU nantinya diputus telah melakukan pelanggaran etik atau tidak.
Sebelumnya, komisioner KPU dilaporkan ke DKPP karena membiarkan putra sulung Presiden Joko Widodo mengikuti tahapan pencalonan dengan mengabaikan prinsip kepastian hukum. KPU disebut semaunya menetapkan Gibran sebagai cawapres.
Para pelapor menyatakan tindakan KPU itu bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang secara imperatif diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP Nomor 2/2017 tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu.
Semestinya dalam konteks tersebut, komisioner KPU bersandar pada PKPU yang berlaku, yakni PKPU Nomor 19/2023 yang mengatur secara tegas bahwa syarat capres dan cawapres minimal 40 tahun.
Itu artinya, saat KPU menerima pendaftaran capres-cawapres, sejatinya ada yang belum memenuhi syarat tahapan awal pendaftaran, hingga seharusnya tidak boleh diikutkan pada tahapan selanjutnya, termasuk tahapan tes kesehatan dan verifikasi.
Karena peraturan yang bersifat tegas itu belum diubah, sementara KPU tetap memproses pencalonan Gibran yang belum berusia 40 tahun, maka para pelapor mendalilkan para komisioner KPU telah melakukan pelanggaran etik dan harus dikenai sanksi.
Menanggapi situasi ini, komisioner KPU, dalam sidang etik DKPP pada 22 Desember 2023, telah melakukan pembelaan dan meminta agar dalil aduan dari para pengadu seluruhnya ditolak ketua majelis sidang.
“(Meminta) menolak dalil-dalil aduan pengadu untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan teradu tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,” kata Ketua KPU Hasyim Asyari (Kompas.com, 22 Desember 2023)
Hasyim juga meminta ketua majelis sidang untuk menyatakan KPU telah menjalankan tahapan penyelenggaraan pemilu secara mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien, sesuai dengan asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu.
Sementara di sisi lain, opini publik maupun pakar yang mengemuka, juga terbelah. Ada yang menyatakan telah terjadi pelanggaran etik, namun ada pula yang berpendapat bahwa tidak ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh komisioner KPU.
Mereka yang mengacu pada norma etik di Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP, agar komisioner KPU “melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemilu yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan” dan kemudian frasa 'secara tegas' itu ditafsirkan limitatif hanya pada PKPU, maka dalil itu dianggap membenarkan pelanggaran etik.
Karena PKPU secara tegas menyebutkan bahwa pendaftaran capres-cawapres bisa diproses jika telah berusia 40 tahun ke atas, sehingga dilanjutkannya proses Gibran sebagai cawapres, maka para komisioner sesungguhnya bisa dikenakan sanksi hukum administrasi, di samping dijatuhi sanksi etik.
Sementara argumen lain menilai konteks ‘diperintahkan’ oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak dapat dibatasi hanya pada PKPU saja, sebab dalam hirarki perundang-undangan di atas PKPU masih ada Peraturan Presiden, Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar 1945.
Itu berarti komisioner KPU memproses pencalonan Gibran bukanlah suatu pembiaran yang merupakan tindakan pasif, tetapi suatu tindakan aktif, atas dasar Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2024 yang telah mengubah ketentuan pada Pasal 117 UU Pemilu.
Dalam hal ini, usia capres dan cawapres telah dimaknai ulang oleh MK, yang membolehkan capres dan cawapres berusia di bawah 40 tahun jika calon tersebut pernah dan/atau sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada.
Komisioner KPU sepertinya menjadikan itu sebagai sandaran, karena berdasarkan Pasal 24C UUD 45 menyatakan bahwa setiap Putusan MK bersifat final dan berlaku serta-merta sejak diucapkan dalam sidang MK yang berlangsung terbuka untuk umum.
Hal itu dikenal sebagai asas erga omnes yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi putusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
Sehingga dengan adanya Putusan MK, maka norma Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berubah sejak tanggal itu tanpa harus menunggu presiden dan DPR mengubah UU Pemilu.
Terkait mangapa KPU tetap menerima pendaftaran Gibran sedangkan PKPU belum diubah, alasannya karena perubahan PKPU memerlukan konsultasi dengan DPR, sementara ketika itu DPR sedang reses.
Dalam situasi seperti itu, KPU tidak punya pilihan kecuali melaksanakan Putusan MK dan mengabaikan PKPU yang telah mereka buat. Sementara Putusan MK mempunyai kedudukan yang setara dengan UU, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari PKPU.
Itulah argumen yang mengemuka, di antaranya akan menjadi pertimbangan DKPP, sekalipun perlu dicatat, ini adalah perkara etik, tentu berbeda dengan perkara hukum. Perkara etik hanya mengadili dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh individu.
Sehingga sanksi yang dijatuhkan hanya mengenai orang yang diadili, tidak berimplikasi kepada pihak lain, termasuk pada proses pemilu yang tengah berjalan.
Berbeda dengan perkara hukum yang mengadili pelanggaran hukum, yang bisa saja berimplikasi hukum kepada pihak lain, sekalipun tidak ikut diadili.
Dalam pada itu, independensi DKPP akan diuji, sama seperti MKMK. Putusan DKPP tidak saja untuk memenuhi rasa keadilan di masyarakat, namun lebih dari itu akan menjadi semacam yurisprudensi bagi pengambilan putusan pada masa depan.
Karena ini bukan perkara hukum, namun soal etik, maka DKPP juga mesti atau mampu membaca dan mengenali ‘mens rea’, adakah sikap batin atau niat dari para komisioner KPU, baik secara pribadi maupun bersama-sama memanfaatkan situasi dengan melanggar etik untuk menguntungkan orang lain.
Hal itu perlu dan bisa menjadi pertimbangan DKPP mengingat terkait persoalan etik, belum ada standar yang lebih rigid dan berlaku secara nasional, serta didukung oleh sistem (infrastruktur) penegakan etik yang memadai, tidak sektoral atau internal an sich.
Sehingga DKPP sebagai lembaga peradilan etik akan dilihat sejauh mana kemampuannya menelusuri atau mendeteksi adanya pelanggaran etik yang mungkin terkamuflase oleh yang sifatnya teknis prosedural.
Apalagi bila melihat kronologi, putusan MKMK yang dikeluarkan pada 16 Oktober 2023, bertepatan dengan hari pengumuman pendaftaran bakal capres-cawapres dan berdekatan dengan hari terakhir pendaftaran bakal capres-cawapres 25 Oktober 2023 (seperti kejar target) juga memunculkan dugaan ada semacam ‘keterlibatan’ atau koordinasi lembaga —bila tak mau disebut konspirasi— bagi lolosnya cawapres tertentu.
Dalam realitas semacam ini, sekalipun DKPP nantinya memutuskan tidak ada pelanggaran etik oleh komisioner KPU, sementara ada preseden buruk dan psikologi publik yang mengonfirmasi dugaan pelanggaran etik, maka semua itu akan menjadi nokta hitam bagi integritas pelaksanaan pemilu.
Apalagi bila kemudian DKPP memutuskan ada pelanggaran etik —walau saya sendiri tak yakin DKPP seberani itu— maka bertambah lagi satu persoalan etik, yang ikut menghantui jalannya Pemilu 2024 ini.
Dalam kondisi itu, legitimasi pemilu akan ikut dipertaruhkan dan pada ujungnya nanti bisa membuka ruang bagi terjadinya konflik politik, sesuatu yang tidak kita inginkan bersama dan harus bisa diantisipasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.