Tanggapannya terhadap pertanyaan Mahfud tentang infrastruktur sosial menunjukkan hal ini. Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut secara langsung, ia malah membahas sanitasi dan stunting.
Meskipun kedua hal tersebut tidak diragukan lagi merupakan isu penting, namun perlu diselaraskan dengan fokus pertanyaan, yang menunjukkan kurangnya koherensi strategis dalam argumentasi Gibran.
Selain itu, kecenderungan Gibran untuk menggunakan jargon teknis dan singkatan yang tidak jelas, mungkin untuk mengganggu lawan-lawannya, terutama Muhaimin, adalah pedang bermata dua.
Meskipun menyoroti pemahamannya tentang subjek yang kompleks, taktik ini berisiko mengasingkan penonton.
Hal ini terlihat sebagai upaya untuk mempermalukan daripada terlibat dalam debat yang konstruktif.
Langkah berani Gibran untuk menyebut ketidakkonsistenan Muhaimin dalam isu IKN merupakan hal menarik perhatian, yang menunjukkan kesediaannya untuk menantang dan berkonfrontasi.
Namun, gaya tegas ini, meskipun menarik perhatian, terkadang menutupi substansi dari argumen kebijakannya. Contohnya, ketika ia ditanya oleh Mahfud mengenai infrastruktur sosial, tapi malah dijawab dengan sanitasi dan stunting.
Kendati demikian, kelugasan dan ketajaman taktis Gibran terlihat jelas, tetapi pendekatannya terkadang kurang halus dan inklusif yang diperlukan untuk debat konstruktif.
Keahlian teknisnya harus diimbangi dengan gaya komunikasi yang mudah dimengerti dan menarik bagi audiens lebih luas.
Penampilan Gibran patut dipuji; namun, masih belum bisa mengungguli Mahfud yang memiliki pengalaman luas dan kemampuan setara dengan seorang profesor. Namun demikian, penampilan Gibran memang melampaui Muhaimin.
Sebaliknya, penampilan Muhaimin Iskandar adalah yang paling tidak menarik. Pidato pembukaannya, yang mempertanyakan kelayakan platform debat, bernada defensif.
Sepanjang debat, Muhaimin sering menggunakan istilah 'slepetnomics', istilah yang tidak memiliki definisi jelas dan gagal diterjemahkan ke dalam narasi kebijakan koheren. Ketidakjelasan ini membuat para hadirin merenungkan substansi di balik retorikanya.
Kegagapan Muhaimin yang paling signifikan terjadi ketika ia berjuang untuk menjawab pertanyaan Gibran tentang Keadaan Ekonomi Islam Global (SGIE).
Momen ini menyoroti kebutuhannya akan persiapan dan menimbulkan pertanyaan tentang kemampuannya untuk beradaptasi dengan tantangan tak terduga dalam lingkungan berisiko tinggi.
Selain itu, buruknya manajemen waktu, sering kali melebihi waktu yang ditentukan, mencerminkan kebutuhan untuk lebih disiplin dalam strategi debatnya.
Kekurangan-kekurangan ini sangat penting dalam situasi di mana ketepatan dan kejelasan sama pentingnya dengan konten.
Penampilan Muhaimin menjadi pengingat akan pentingnya persiapan dan eksekusi strategis dalam debat politik. Pendekatannya membutuhkan kejelasan dan kekhususan yang lebih untuk membuat kasus persuasif kepada para pemilih.
Debat cawapres merupakan acara yang memiliki banyak sisi, yang tidak hanya menampilkan pengetahuan kebijakan para kandidat, tetapi juga pemikiran strategis, kemampuan komunikasi, dan kemampuan mereka untuk terhubung dengan penonton.
Mahfud MD, dengan tanggapan-tanggapannya yang beralasan dan berpengetahuan luas, tampil sebagai peserta debat paling mahir. Namun, penampilannya bisa lebih baik jika ia lebih melibatkan diri secara emosional untuk melengkapi kehebatan intelektualnya.