Sementara dengan masifnya penggunaan dan penetrasi media sosial, kritik atau penilaian negatif, terutama dari pihak yang tidak setuju, dan saat ini terus mengemuka, dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan di tengah masyarakat.
Apalagi ucapan “ndasmu etik” sungguh bertolak belakang dengan kesan baru yang hendak dibangun, melalui gimmick ‘gemoy’ dan ‘santuy’. Terlihat inkonsistensi kepribadian. Sesuatu yang dapat memperkuat keraguan, hingga beringsutnya pemilih.
Pada titik ini kemudian, kesalahan konteks dan konten (diksi) komunikasi politik Prabowo menjadi sesuatu yang serius dan penting untuk didiskusikan.
Pertama, soal komunikasi. Calon pemimpin negara dalam masa kampanye sebaiknya memperhatikan gaya dan konten komunikasinya. Penting secara politik, karena bisa memengaruhi sentimen publik, ikut menaikan atau menurunkan elektabilitas.
Sehingga setiap ucapan atau pesan yang ingin disampaikan harus benar-benar terukur. Dipikirkan betul dampaknya sebelum disampaikan ke publik.
Karena dalam konteks komunikasi pesan, ketika satu pesan sudah dikirim, tidak dapat ditarik kembali, ini disebut "irreversible communication".
Hal ini bukan saja soal memitigasi dampak komunikasi politik, namun lebih dari itu, juga yang paling penting adalah agar ikhtiar atau upaya menyampaikan pesan, visi, nilai dan gagasan kepada pemilih menjadi efektif.
Komunikasi politik yang efektif dapat membantu membangun citra positif, untuk mendapatkan dukungan, dan memengaruhi persepsi publik terhadap satu calon, alih-alih adalah blunder.
Sehingga pada masa kampanye, semua produksi pesan dari para kandidat harus dipersiapkan dengan baik, disesuaikan dengan konsumen pesan (audience) termasuk pilihan media untuk distribusi pesan.
Inilah hal yang perlu diperhatikan oleh para kandidat, dan tim pemenangnya, dengan begitu pilihan diksi atau konten, berikut dampak dari komunikasi itu, sudah bisa diperhitungkan atau dikalkulasi sejak awal.
Kedua, mitigasi kesalahan komunikasi. Hal ini juga sangat penting, apalagi pada kasus Prabowo, seperti menjadi pengulangan atas kesalahan yang sama oleh Cawapres Gibran Rakabuming Raka lewat diksi ‘asam sulfat’ yang sebelumnya juga viral.
Dalam konteks ini, mitigasi kesalahan komunikasi sepertinya belum dilakukan. Mestinya di era majunya teknologi digital (perekaman), harus ada asumsi awal dari semua kontestan, bahwa tak ada lagi yang namanya pertemuan ‘tertutup’, bila masih ada peserta pertemuan yang membawa ponsel atau smartphone.
Karena bila ada pertemuan yang disebut atau dianggap tertutup, sementara ada peserta yang membawa smartphone, dan kemudian ‘live’ di media sosial, maka status ‘rapat tertutup’ itu sebenarnya telah gugur, karena pihak eksternal turut mengikuti.
Mitigasi kesalahan komunikasi, apalagi pada masa-masa krusial (kampanye) seperti sekarang penting, karena tindakan atau perkataan pasangan calon berdampak besar pada citra dan persepsi publik, apalagi sampai ‘digoreng’ lawan politik dan warganet.
Kesalahan komunikasi bisa merugikan capres dan cawapres, apalagi yang dapat memicu lahirnya kontroversi, sehingga memperburuk persepsi, atau memicu ketidakpercayaan di tengah pemilih.