PASTINYA sebagian pembaca sudah mengetahui atau menonton video pendek Capres Prabowo Subianto dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Gerindra yang kemudian viral di media sosial.
Prabowo mengatakan “ndasmu etik”, yang memantik reaksi publik. Kendati ucapan kontroversial itu tidak diarahkan eksplisit pada seseorang, tapi mudah bagi publik mengaitkannya dengan debat perdana capres.
Baca juga: Pembelaan Prabowo dan Tim soal Ndasmu Etik...
Menanggapi reaksi publik, pihak Prabowo, melalui juru bicaranya, Dahnil Anzar, menyebut ucapan "ndasmu etik" yang disampaikan Prabowo merupakan candaan di forum internal Partai Gerindra.
"Pak Prabowo senang bercanda, itu bercandaan Pak Prabowo ke kader-kader Gerindra. 1.000 persen bercanda," ujar Dahnil lewat pesan singkat (Kompas.com, Sabtu, 16 Desember 2023).
Memang candaan pada pertemuan organisasi atau partai politik lumrah. Apalagi pertemuan Partai Gerindra itu diadakan tertutup, wajar ada semacam ice breaking untuk memecah kebekuan dilontarkan pimpinan partai, yang diselipkan dalam pidato.
Persoalannya kemudian adalah, ucapan Prabowo itu menyebar luas di masyarakat, bertepatan dengan masa kampanye, dan tentu menjadi kontraproduktif.
Bagaimanapun, kata ‘ndasmu’ bila dilekatkan pada ‘etik’, memiliki konotasi yang negatif, sekalipun dalam konteks ekspresi kedekatan di satu komunitas atau pada hubungan interpersonal, bisa dibilang bercanda.
Secara harfiah, 'ndasmu' diambil dari bahasa Jawa yang artinya 'kepalamu'. Sedangkan 'etik' merupakan kumpulan nilai yang berkenaan dengan akhlak, terkait benar-salah. Kedua diksi yang tak elok disatukan.
Tone 'ndasmu' biasanya dipakai sebagai ungkapan yang kasar atau sarkas, dan ketika berkelindan bersama kata ‘etik’, menjadi semacam paradoks. Wajar kemudian diinterpretasikan sebagai sikap yang ‘ngeyek’ (Bahasa Jawa: merendahkan) persoalan etik.
Ucapan "ndasmu etik" yang dilontarkan, selain, terkesan menganggap enteng persoalan etik, sudah pasti berdampak negatif terhadap bangunan citra diri yang sedang disusun oleh Prabowo sebagai capres.
Konten komunikasi politik (narasi, teks, gambar, suara) memang ada dalam ruang interpretasi. Sementara penyampai pesan atau sender tidak punya otoritas dan kemampuan mengontrol interpretasi receivers atau penerima pesan (khalayak).
Ketidakmampuan pemberi pesan untuk mengontrol interpretasi terhadap pesan yang sudah disampaikan, disebut "loss of message control", seperti yang dikemukakan George Herbert Mead dalam komunikasi simbolik, atau teori koorientasi Harold D. Lasswell.
Bagi pendukung fanatik, yang sulit berubah pilihan politiknya, tentu akan menanggapi potongan video viral Prabowo sebagai hal biasa, sebagian bahkan justru akan mencari pembenaran atas ucapan tersebut.
Namun pada sisi lain, bagi undecided voters dan swing voters, termasuk pemilih kritis atau vocal minority, sangat bisa terpengaruh oleh statement di video itu.
Bagaimanapun, ucapan tersebut telah menjadi kontroversi, dianggap kasar dan kurang sopan oleh sebagian orang. Ada yang menganggap sebagai sikap yang kurang pantas dari seorang calon pemimpin.
Sementara dengan masifnya penggunaan dan penetrasi media sosial, kritik atau penilaian negatif, terutama dari pihak yang tidak setuju, dan saat ini terus mengemuka, dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan di tengah masyarakat.
Apalagi ucapan “ndasmu etik” sungguh bertolak belakang dengan kesan baru yang hendak dibangun, melalui gimmick ‘gemoy’ dan ‘santuy’. Terlihat inkonsistensi kepribadian. Sesuatu yang dapat memperkuat keraguan, hingga beringsutnya pemilih.
Pada titik ini kemudian, kesalahan konteks dan konten (diksi) komunikasi politik Prabowo menjadi sesuatu yang serius dan penting untuk didiskusikan.
Pertama, soal komunikasi. Calon pemimpin negara dalam masa kampanye sebaiknya memperhatikan gaya dan konten komunikasinya. Penting secara politik, karena bisa memengaruhi sentimen publik, ikut menaikan atau menurunkan elektabilitas.
Sehingga setiap ucapan atau pesan yang ingin disampaikan harus benar-benar terukur. Dipikirkan betul dampaknya sebelum disampaikan ke publik.
Karena dalam konteks komunikasi pesan, ketika satu pesan sudah dikirim, tidak dapat ditarik kembali, ini disebut "irreversible communication".
Hal ini bukan saja soal memitigasi dampak komunikasi politik, namun lebih dari itu, juga yang paling penting adalah agar ikhtiar atau upaya menyampaikan pesan, visi, nilai dan gagasan kepada pemilih menjadi efektif.
Komunikasi politik yang efektif dapat membantu membangun citra positif, untuk mendapatkan dukungan, dan memengaruhi persepsi publik terhadap satu calon, alih-alih adalah blunder.
Sehingga pada masa kampanye, semua produksi pesan dari para kandidat harus dipersiapkan dengan baik, disesuaikan dengan konsumen pesan (audience) termasuk pilihan media untuk distribusi pesan.
Inilah hal yang perlu diperhatikan oleh para kandidat, dan tim pemenangnya, dengan begitu pilihan diksi atau konten, berikut dampak dari komunikasi itu, sudah bisa diperhitungkan atau dikalkulasi sejak awal.
Kedua, mitigasi kesalahan komunikasi. Hal ini juga sangat penting, apalagi pada kasus Prabowo, seperti menjadi pengulangan atas kesalahan yang sama oleh Cawapres Gibran Rakabuming Raka lewat diksi ‘asam sulfat’ yang sebelumnya juga viral.
Dalam konteks ini, mitigasi kesalahan komunikasi sepertinya belum dilakukan. Mestinya di era majunya teknologi digital (perekaman), harus ada asumsi awal dari semua kontestan, bahwa tak ada lagi yang namanya pertemuan ‘tertutup’, bila masih ada peserta pertemuan yang membawa ponsel atau smartphone.
Karena bila ada pertemuan yang disebut atau dianggap tertutup, sementara ada peserta yang membawa smartphone, dan kemudian ‘live’ di media sosial, maka status ‘rapat tertutup’ itu sebenarnya telah gugur, karena pihak eksternal turut mengikuti.
Mitigasi kesalahan komunikasi, apalagi pada masa-masa krusial (kampanye) seperti sekarang penting, karena tindakan atau perkataan pasangan calon berdampak besar pada citra dan persepsi publik, apalagi sampai ‘digoreng’ lawan politik dan warganet.
Kesalahan komunikasi bisa merugikan capres dan cawapres, apalagi yang dapat memicu lahirnya kontroversi, sehingga memperburuk persepsi, atau memicu ketidakpercayaan di tengah pemilih.
Menyikapi realitas yang ada, dalam konteks mitigasi dampak komunikasi, terutama terkait imbas negatif dari ucapan "ndasmu etik" oleh Prabowo, maka ada sejumlah hal yang semestinya perlu diupayakan.
Pertama, karena sudah menjadi konsumsi publik luas, sudah semestinya ada permintaan maaf secara terbuka. Seperti saat Prabowo dan timnya meminta maaf ketika salah ‘mengadvokasi’ kasus Ratna Sarumpaet pada Pilpres 2019 lalu.
Hal ini akan diterima atau dimaknai publik sebagai kebesaran hati dan jiwa untuk mengakui kesalahan, dan bertanggung jawab atas setiap dampak dari tindakan komunikasi yang dilakukan.
Mencari pembenaran di tengah masyarakat yang sudah kadung termakan oleh dampak viralnya konten video “ndasmu etik” dapat memperburuk persepsi dan situasi. Karena hanya ksatria yang mengaku salah.
Kedua, klarifikasi atau penjelasan lanjutan. Sekalipun ada upaya klarifikasi oleh Prabowo dan juga tim kampanyenya, tapi bila dilihat sejauh ini masih sebatas tanggapan ‘doorstop’ merespons pertanyaan wartawan.
Belum terlihat itu dilakukan secara ‘official’ dalam satu forum konferensi pers yang terencana dan melibatkan berbagai media, serta kanal atau platform digital. Momentum untuk menegaskan kembali bahwa tak ada maksud sedikitpun merendahkan persoalan etik.
Ketiga, memadatkan atau membanjiri media sosial dengan konten penyampaian maaf dan klarifikasi. Antara lain bekerja sama dengan para pendukung fanatik yang punya pengaruh di media sosial, termasuk dengan memanfaatkan influencer berbayar.
Keempat, fokus pada isu visi-misi kandidat. Prabowo dan tim komunikasinya dapat mengembalikan fokus publik dengan sejumlah visi-misi yang diusung.
Dari sekian arsiran isu dalam dokumen visi-misi kandidat, maupun yang baru dirumuskan, bisa diambil atau dipilih mana saja isu ‘kuat’ yang mau ditekankan ke publik. Ini menjadi semacam ‘mengalihkan isu’.
Kelima, kehati-hatian dalam komunikasi. Prabowo serta timnya, termasuk pasangan calon lainnya, perlu lebih berhati-hati dalam komunikasi publik, terutama menghindar dari penggunaan diksi atau istilah yang dapat memicu kesalahpahaman.
Cukup sudah “ndasmu etik” dan “asam sulfat” sebagai kesalahan komunikasi. Kedepan tentu perlu lebih fokus dengan good communication, sehingga dapat menjadi elemen yang mempersuasi, bukan lahirkan kontroversi, apalagi hingga menggerus elektabilitas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.