SAYA langsung ‘stressing’ pada pokok masalah, yaitu terkait keputusan KPU mengadakan debat calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024 dengan format baru, cawapres didampingi calon presiden (capres).
Itu artinya debat ‘khusus’ cawapres seperti ditiadakan. Menjadi soal karena keputusan tersebut memantik persepsi publik bila tak mau dikatakan tudingan atas aroma keberpihakan lembaga penyelenggara pemilu.
Bagaimanapun debat khusus cawapres dalam artian sesungguhnya, adalah agenda yang penting, sebagaimana posisi strategis cawapres dalam sistem presidensial, yang akan secara otomatis menjadi pengganti presiden bila berhalangan tetap.
Sehingga gagasan atau pikiran cawapres patut didengar, dan ini juga dalam rangka membangun tradisi yang baik dalam demokrasi prosedural kita.
Seperti hal-nya Amerika (AS) yang kerap menjadi rujukan kita dalam menjalankan demokrasi, debat khusus cawapres menjadi agenda yang selalu ditunggu rakyat AS. Indonesia mestinya juga begitu.
Misalnya, pada pilpres AS paling terakhir. Rakyat AS menyaksikan dengan antusias lewat layar kaca maupun platform digital debat cawapres yang disiarkan langsung dari University of Utah di Salt Lake City, Utah, pada 7 Oktober 2020.
Ketika itu, cawapres dari Partai Republik Mike Pence berdebat alot, saling beradu argumen dengan cawapres dari Partai Demokrat Kamala Harris yang dimoderatori oleh jurnalis USA Today, Susan Page.
Menunjukan betapa cawapres bukan saja pelengkap atau pendulum elektoral semata, seperti yang sebelumnya saya tulis dalam artikel “Wakil Presiden, Sekadar Ban Serep?” (Kompas.com, 16 November 2023).
Sama seperti debat capres, debat cawapres AS dalam perdebatan yang dilakukan, kedua kandidat saling mengkritisi program maupun kebijakan ‘lawan’.
Sehingga publik merasa bahwa apa yang diperdebatkan memang berguna bagi kehidupan mereka. Debat cawapres tidak saja berisi, namun penting untuk memengaruhi preferensi politik.
Cawapres, menyusul debat capres, berdebat soal-soal substansi. Mereka tunjukkan perbedaan, tapi tetap disampaikan secara elegan, tidak ada serangan terhadap pribadi, cara menyampaikannya pun terlatih.
Menunjukan pemahaman terhadap konsep dan konteks permasalahan yang diperdebatkan. Di AS proses debat cawapres, seperti halnya debat capres juga fokus pada kebijakan dan menjawab pertanyaan panelis atau audiens.
Inilah merupakan tradisi baik yang sebenarnya juga telah diduplikasi di Indonesia dalam Pilpres 2019 lalu, ketika publik Tanah Air menyaksikan debat antara Cawapres Sandiaga Uno melawan Cawapres Maruf Amin, yang juga disiarkan langsung di televisi.
Menjadi bagian penting dari transparansi gagasan dan program kontestan pilpres, juga terkait kesiapan atau meletakan komitmen para cawapres. Semacam gentleman agreement dihadapan publik.
Sayangnya, pada pilpres musim ini, tradisi debat, yang hanya khusus menampilkan cawapres, dan tradisinya baru mau dibangun, bakal kehilangan momentum karena hendak diganti formatnya oleh KPU.