Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengakuan Agus Rahardjo soal Intervensi Istana di KPK: Singgung Kasus E-KTP hingga Revisi UU

Kompas.com - 01/12/2023, 14:06 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo menyampaikan pengakuan soal intervensi pihak Istana terhadap lembaga antirasuah.

Menurut pengakuan Agus, intervensi tersebut menyebabkan KPK saat ini tidak lagi berdiri independen, melainkan berkedudukan di bawah Presiden.

Kasus e-KTP

Agus mengungkap, intervensi pihak Istana terjadi salah satunya dalam pengusutan kasus korupsi e-KTP yang menjerat mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Setya Novanto. Agus mengaku pernah diminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus korupsi yang bergulir pada tahun 2017 itu.

“Saya pikir kan baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus dalam wawancara bersama Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosiana Silalahi dalam program Rosi yang tayang di Kompas TV, Kamis (30/11/2023).

“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” lanjutnya.

Baca juga: Agus Rahardjo Ungkap Saat Jokowi Marah, Minta KPK Setop Kasus E-KTP Setya Novanto

Saat itu, Agus merasa heran dirinya dipanggil seorang diri. Sebab, biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus.

Ketika memasuki ruang pertemuan, Agus mendapati Jokowi sudah marah. Agus mengaku, awalnya ia tidak mengerti maksud Presiden.

“Presiden sudah marah, menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’,” tutur Agus.

Setelah duduk, barulah Agus paham bahwa Jokowi meminta kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto disetop KPK.

“Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” ujarnya.

Namun, Agus menolak perintah Jokowi. Sebab, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) kasus e-KTP dengan tersangka Setya Novanto sudah terbit tiga minggu sebelumnya.

Sementara, ketika itu, dalam aturan hukum di KPK tidak ada mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

“Saya bicara apa adanya saja bahwa Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu di KPK itu enggak ada SP3, enggak mungkin saya memberhentikan itu,” kata Agus.

Presiden Joko Widodo didampingi Ketua DPR Setya Novanto (kanan) tiba di ruang Nusantara IV gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (6/4/2015).RODERICK ADRIAN MOZES Presiden Joko Widodo didampingi Ketua DPR Setya Novanto (kanan) tiba di ruang Nusantara IV gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (6/4/2015).
Kasus korupsi e-KTP pun terus bergulir hingga akhirnya Setya Novanto divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada April 2018 lalu. Mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut dinilai terbukti melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013 yang merugikan negara senilai Rp 2,3 triliun.

Menurut Agus, perintah untuk menghentikan proses hukum kasus korupsi e-KTP merupakan upaya menjadikan KPK sebagai alat kekuasaan. Namun, upaya tersebut tak berhasil karena ketika itu KPK masih independen.

“Kita masih bisa menyangkal atau bisa tidak mengikuti apa yang diinginkan presiden,” ucapnya.

Revisi UU KPK

Namun demikian, Agus menduga, penolakan dirinya atas penghentian kasus korupsi e-KTP membuat hubungan KPK dengan Istana renggang. Hal ini pulalah yang menurut Agus mendorong lahirnya revisi UU KPK pada tahun 2019.

Pasalnya, melalui revisi undang-undang, KPK tidak lagi menjadi lembaga independen dan ditempatkan di bawah kekuasaan Presiden. Revisi UU KPK juga memuat mekanisme SP3 yang bisa menyetop perkara penyidikan.

Baca juga: Agus Rahardjo Duga UU KPK Direvisi karena Ditolaknya Perintah Jokowi Hentikan Kasus Setya Novanto

“Akhirnya kan dilakukan revisi UU KPK. Intinya revisi UU itu kan SP3 menjadi ada, kemudian di bawah presiden,” ujar Agus.

“Karena mungkin pada waktu itu presiden merasa bahwa ini Ketua KPK diperintah, KPK kok enggak mau, apa mungkin begitu,” lanjutnya.

Saat proses revisi UU KPK bergulir, pimpinan KPK pun tidak bisa bertemu dengan Presiden Jokowi. Bahkan, kata Agus, pimpinan KPK tak diizinkan bertemu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) untuk meminta draf revisi UU KPK.

“Bahkan bukan pengin ketemu Presiden, ketemu Menteri Kumham saja tidak diizinkan,” ujar dia.

Di tengah situasi tersebut, Agus mengungkap, Wakil Ketua KPK 2015-2019 Laode M Syarif sempat mengajaknya menemui Menkumham Yasonna Laoly. Pun demikian, saat itu, Menkumham tetap tidak mau menunjukkan draf revisi UU KPK.

“Jadi sampai akhir kami enggak tahu sebetulnya yang direvisi ini apa itu enggak tahu,” kata Agus.

“Itu kejadian yang kami alami, terakhir-akhir kami di KPK,” tuturnya.

Ditambah lagi, ketika itu, lembaga antirasuah diserang secara bertubi-tubi oleh buzzer yang salah satunya mendengungkan isu KPK sebagai sarang taliban.

Adapun taliban merupakan kelompok politik di Afghanistan yang dinilai sebagai ekstremis atau radikal.

Akibatnya, kata Agus, dukungan masyarakat sipil ke KPK saat itu sangat sedikit. Dukungan itu jauh lebih mimin dibanding ketika terjadi perseteruan antara lembaga antirasuah dengan Polri dalam perkara “cicak versus buaya”.

“Tidak sebanyak waktu cicak vs buaya karena merasa KPK ini sudah seperti taliban, seolah-olah omongan buzzer itu betul,” tutur Agus.

Jawaban Istana

Pihak Istana pun telah angkat bicara menanggapi pernyataan Agus. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, membantah Jokowi pernah bertemu dengan Agus dan memerintahkan KPK menghentikan proses hukumkasus e-KTP.

"Terkait dengan pernyataan Bapak Agus Rahadjo yang disampaikan di sebuah media, saya ingin menyampaikan beberapa hal. Yang pertama, setelah dicek tidak ada pertemuan yang disebut-sebut dalam agenda Presiden," kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (1/12/2023).

Baca juga: Jawab Agus Rahardjo, Istana: Revisi UU KPK Inisiatif DPR, Terjadi Dua Tahun Usai Setya Novanto Tersangka

Ari pun meminta publik untuk melihat proses hukum terhadap Setya Novanto yang terus berjalan sampai ke tingkat pengadilan.

"Kita lihat saja apa kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novanto terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap," kata Ari kepada Kompas.com, Jumat (1/12/2023).

Terkait revisi UU KPK yang turut disinggung Agus, Ari menyebut bahwa langkah itu merupakan inisiatif DPR.

"Perlu diperjelas bahwa revisi UU KPK pada tahun 2019 itu inisiatif DPR, bukan inisiatif pemerintah, dan terjadi dua tahun setelah penetapan tersangka Setya Novanto," ujarnya. 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com