JAKARTA, KOMPAS.com - Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan menggadang kebijakan ketahanan pangan dengan sistem contract farming untuk menggantikan food estate yang saat ini dijalankan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menurut Anies, pertanian kontrak akan memberikan kesejahteraan bagi petani kecil yang selama ini sering dizalimi dengan harga gabah yang murah. Tak hanya itu, konsumen juga dirugikan dengan harga beras yang tinggi.
Eks Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 ini menyebut, contract farming pernah dia lakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan di Ibukota.
Baca juga: Anies Ingin Ganti Kebijakan Food Estate Jadi Contract Farming
"DKI Jakarta bukan membeli lahan besar lalu membuat food estate untuk Jakarta. Yang kami lakukan justru mengajak petani-petani yang ada diperkuat," ujar Anies dalam acara Konferensi Orang Muda yang diadakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Sabtu (25/11/2023).
"Apa yang terjadi ketika memiliki contract farming? Mereka bisa mendapatkan kredit untuk mekanisasi pertanian, mereka melakukan produksi pertanian secara kolektif, karena mereka memiliki kepastian siapa yang membeli hasil taninya. Jadi, kami melihat petani-petani di Indonesia harus dibantu untuk jadi berdaya," ucapnya.
Saat menjabat Gubernur, Anies memiliki kebijakan melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta Food Station untuk membuat kontrak dengan para petani daerah.
Jakarta membuat kontrak dengan gabungan kelompok tani di berbagai wilayah untuk menjadi pemasok pangan ke wilayah Ibukota lewat BUMD.
Dengan cara tersebut, Jakarta mendapatkan kepastian suplai pangan dari petani, sedangkan petani mendapat kepastian harga dan pembeli dalam kurun waktu kontrak yang diteken.
Pembahasan terkait pertanian kontrak diulas dalam buku karya Frida Rustiani, Hetifah Sjaifudian dan Rimbo Gunawan dengan kata pengantar Prof. Sajogjo yang telah diterbitkan 1997.
Baca juga: Janji Anies Anies Jaga Indonesia Agar Tak Bergeser dari Negara Hukum Jadi Negara Kekuasaan
Dalam buku itu disebutkan Usaha Pertanian Kontrak (UPK) sebagai salah satu solusi antara pemilik modal dengan para petani yang berada di daerah.
Pihak pertama bisa berbentuk unit pengelola atau unit pemasaran, bisa berbentuk perusahaan negara, swasta, swasta dan negara baik asing maupun domestik yang menguasai pasar, modal, teknologi baru hingga merek dagang.
Sedangkan pihak kedua adalah para petani yang bertindak sebagai produsen yang memiliki lahan dan tenaga kerja.
Skema ini dinilai mampu menyelesaikan masalah petani kecil yang semakin sulit berkompetisi dengan produsen besar yang mengadopsi teknologi baru.
UPK juga dinilai memberikan peluang besar memberbaiki tingkat kesejahteraan petani kecil yang kesulitan bersaing di tengah pasar.
Selain itu, UPK juga disebut sebagai sistem yang bisa dipercaya sebagai instrumen transfer teknologi dan menciptakan stabilitas politik ekonomi lewat distribusi pendapatan, dan mendukung modernisasi pertanian.
Namun bukan berarti UPK tak memiliki kelemahan, dalam buku ini disebutkan UPK akan memarjinalkan petani lewat penyerahan proses produksi yang bisa diatur oleh pemilik modal dari sistem kontrak.
Meski petani punya tanah dan mengerjakan hampir seluruh proses produksi, kontrol terkait proses produksi tetap berada di pihak penampung. Sebab itu, petani dinilai akan kehilangan kekuasaan terhadap tanah dan proses produksi mereka.
Sistem ini juga disebut akan menghadapkan petani pada persaingan yang tidak seimbang, karena membuat petani kehilangan kemandirian dan tergiring pada satu kondisi ketergantungan permanen terhadap pemodal.
Baca juga: Strategi Anies Berantas Korupsi: Miskinkan Koruptor, Sahkan UU Perampasan Aset
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.