Keserentakan tersebut dinilai menimbulkan kompleksitas dan keribetan tinggi dalam hal pelaksanaannya. Terutama pada tahap perhitungan suara kelak. Banyak kalangan menilai, itu sangat rawan dari ketidakjujuran kelak.
Kedua, telah terjadi drama amoral dan inkonstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengubah persyaratan usia minimal calon presiden/wakil presiden.
MK secara sewenang-wenang membuat putusan yang menganiaya penalaran dan menindih kecerdasan kita semua. MK menambah persyaratan lain yang jelas-jelas meloloskan seorang calon wakil presiden.
Calon wakil presiden tersebut, adalah putra dari presiden yang tengah memegang kendali kekuasaan. Maka, kecambah persangkaan dan pat gulipat pun, berkecambah secara liar.
Di sinilah hulu sikap pesimisme dan purbasangka mengenai ketidakjujuran dan ketidakadilan yang bakal mengiringi penyelenggaraan pemilu ke depan.
Pesimisme dan sak wasangka pun kian sulit dibendung. Banyak orang yang meragukan kejujuran pelaksanaan pemilu kelak.
Ketiga, sak wasangka dan pesimisme itu mencuat dengan melihat kebijakan pemerintah tentang penjabat bupati/wali kota sekarang.
Melalui Peraturan Mendagri No 4 Tahun 2023, penjabat bupati/wali kota diusulkan oleh gubernur sebanyak tiga calon, DPRD Kapubaten/Kota tiga calon dan Kementerian Dalam Negeri sebanyak tiga orang. Kesembilan calon tersebut digodok dan diproses di Jakarta.
Dengan mekanisme baru ini, amat mudah dinujum hasilnya. Di antara lebih seratus penjabat bupati dan wali kota sekarang, pada umumnya mereka didrop dari Jakarta, yakni eselon II dari Kemendagri dan beberapa instansi pemerintah lainnya.
Usulan gubernur dan DPRD Tingkat II, hanyalah pelengkap belaka untuk membuat kesan bahwa aspirasi daerah didengar dan diakomodasi.
Sebelumnya, penjabat bupati/wali kota diusulkan oleh gubernur dan direstui oleh Mendagri. Kini, segalanya berubah, dan perubahan itulah yang ditafsirkan sebagai gelagat bahwa memang ada niat dan ikhtiar pemerintah untuk ikut cawe-cawe dalam pemilihan umum kelak.
Penjabat bupati/wali kota adalah instrumen penting untuk melakukan mobilisasi: memilih atau memboikot seseorang.
Bila penjabat gubernur berasal dari Jakarta, itu sangat lazim dan tidak membutuhkan penafsiran politik yang liar. Karena, gubernur merangkap sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.
Pesimisme dan sak wasangka mengenai kebijakan pemerintah tersebut, tidak bisa dilepaskan dengan realitas yang terjadi lebih dua tahun silam.
Ketika itu, para kepala desa dimobilisasi datang ke Jakarta untuk melakukan deklarasi kebulatan tekad mendukung Presiden Jokowi menjadi presiden untuk kali ketiga. Ikhtiar ini gagal.