Salin Artikel

Mengapa Pemilu Harus Jujur dan Adil?

Di kesempatan itulah rakyat menentukan siapa yang dikehendaki untuk memimpin mereka. Di momen itulah rakyat memberikan evaluasi, apakah pemimpin mereka dihentikan mandatnya, atau diteruskan.

Itulah sebabnya, pemilu menjadi instrumen sakral untuk melegitimasi secara moral dan konstitusional, keabsahan keterpilihan dan kepemimpinan seseorang.

Dari sinilah mengapa pemilu itu harus dijalankan dengan prinsip “jujur dan adil.” Pemilu tidak berarti manakala prosesnya surplus dengan ketidakjujuran dan defisit dalam keadilan.

Pemilu, singkatnya, harus dilakukan dengan integritas.

Setiap menyelenggarakan pemilu, kita selalu bersuara lantang tentang luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Semua ini hanyalah cara menyelenggarakan pemilu. Fondasi utamanya adalah prinsip jurdil (jujur dan adil).

Kata jujur dalam prinsip pemilu ini, ditujukan ke semua pihak: pemilih, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP), peserta pemilu, dan pemerintah.

Namun, kata adil, ditujukan hanya kepada pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan atau kekuasaan mengenai terlaksana tidaknya pemilu dengan jujur dan adil.

Siapa yang memiliki kewenangan dan kekuasaan itu? Jawabannya adalah penyelenggara pemilu dan pemerintah.

Peserta pemilu dan pemilih dalam banyak hal, tak bisa berbuat banyak bila penyelenggara pemilu dan pemerintah secara sistematis dan sewenang-wenang berlaku tidak adil dalam menyelenggarakan pemilu.

Penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum, memiliki kewenangan besar mengenai penyelenggaraan teknis pemilihan umum. Ia memiliki kewenangan membuat regulasi dan mengeksekusi segala perencanaan dan proses pemilu.

Pemerintah atau penguasa, memiliki kekuasaan untuk mengatur organ atau aparat pemerintah, yang dalam banyak hal, mempunyai peluang untuk ikut memengaruhi jalannya pemilu dengan baik atau buruk.

Kita telah menyelenggarakan pemilu sebanyak empat kali sejak era reformasi terjadi. Setiap pemilu hendak dilaksanakan, semuanya menyambut dengan antusiasme, optimisme, dan kepercayaan tinggi bahwa pemilu dilaksanakan dengan jujur dan adil.

Pemilu kita yang akan diselenggarakan beberapa pekan ke depan, sangat berbeda suasananya. Banyak kalangan mengiringinya dengan pesimisme dan ketidakpercayaan tinggi mengenai jujur dan adilnya pemilu tersebut. Sikap batin tersebut dipicu oleh beberapa hal:

Pertama, penyelenggaraan pemilu kali ini, dilaksanakan secara serentak: pemilihan anggota legislatif dari semua tingkatan, termasuk DPD dan pemilihan presiden/wakil presiden.

Keserentakan tersebut dinilai menimbulkan kompleksitas dan keribetan tinggi dalam hal pelaksanaannya. Terutama pada tahap perhitungan suara kelak. Banyak kalangan menilai, itu sangat rawan dari ketidakjujuran kelak.

Kedua, telah terjadi drama amoral dan inkonstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang mengubah persyaratan usia minimal calon presiden/wakil presiden.

MK secara sewenang-wenang membuat putusan yang menganiaya penalaran dan menindih kecerdasan kita semua. MK menambah persyaratan lain yang jelas-jelas meloloskan seorang calon wakil presiden.

Calon wakil presiden tersebut, adalah putra dari presiden yang tengah memegang kendali kekuasaan. Maka, kecambah persangkaan dan pat gulipat pun, berkecambah secara liar.

Di sinilah hulu sikap pesimisme dan purbasangka mengenai ketidakjujuran dan ketidakadilan yang bakal mengiringi penyelenggaraan pemilu ke depan.

Pesimisme dan sak wasangka pun kian sulit dibendung. Banyak orang yang meragukan kejujuran pelaksanaan pemilu kelak.

Ketiga, sak wasangka dan pesimisme itu mencuat dengan melihat kebijakan pemerintah tentang penjabat bupati/wali kota sekarang.

Melalui Peraturan Mendagri No 4 Tahun 2023, penjabat bupati/wali kota diusulkan oleh gubernur sebanyak tiga calon, DPRD Kapubaten/Kota tiga calon dan Kementerian Dalam Negeri sebanyak tiga orang. Kesembilan calon tersebut digodok dan diproses di Jakarta.

Dengan mekanisme baru ini, amat mudah dinujum hasilnya. Di antara lebih seratus penjabat bupati dan wali kota sekarang, pada umumnya mereka didrop dari Jakarta, yakni eselon II dari Kemendagri dan beberapa instansi pemerintah lainnya.

Usulan gubernur dan DPRD Tingkat II, hanyalah pelengkap belaka untuk membuat kesan bahwa aspirasi daerah didengar dan diakomodasi.

Sebelumnya, penjabat bupati/wali kota diusulkan oleh gubernur dan direstui oleh Mendagri. Kini, segalanya berubah, dan perubahan itulah yang ditafsirkan sebagai gelagat bahwa memang ada niat dan ikhtiar pemerintah untuk ikut cawe-cawe dalam pemilihan umum kelak.

Penjabat bupati/wali kota adalah instrumen penting untuk melakukan mobilisasi: memilih atau memboikot seseorang.

Bila penjabat gubernur berasal dari Jakarta, itu sangat lazim dan tidak membutuhkan penafsiran politik yang liar. Karena, gubernur merangkap sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.

Pesimisme dan sak wasangka mengenai kebijakan pemerintah tersebut, tidak bisa dilepaskan dengan realitas yang terjadi lebih dua tahun silam.

Ketika itu, para kepala desa dimobilisasi datang ke Jakarta untuk melakukan deklarasi kebulatan tekad mendukung Presiden Jokowi menjadi presiden untuk kali ketiga. Ikhtiar ini gagal.

Dengan itu semua, pesimisme, persangkaan, dan tudingan tentang pemilu 2024 yang tidak jujur dan adil, tidak boleh diabaikan begitu saja. Rangkaian peristiwa yang telah tersaji tersebut, tidak berdiri sendiri. Ia sebuah mata rantai yang saling terkait.

Tentu saja pemerintah menepikan dan menihilkan tudingan-tudingan tersebut. Kita lihat saja. Yang pasti, asap tidak berdiri sendiri, bebas dari api.

Kita sebaiknya pelajar dari pengalaman, baik dari luar maupun dari dalam. Semua kekuasaan yang terpilih melalui mekanisme pemilu yang curang, berakhir secara mengenaskan.

Berakhir dengan kenistaan, baik kepada penguasa yang terpilih, maupun para pendukung kekuasaan tersebut.

Pemilu yang diselenggarakan secara curang, selalu melecehkan dan mengibiri kedaulatan rakyat. Sementara, suara rakyat adalah suara Tuhan.

https://nasional.kompas.com/read/2023/11/24/14242491/mengapa-pemilu-harus-jujur-dan-adil

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke