Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, hakim yang ikut memeriksa, menyidangkan, dan memutus perkara yang menguntungkan Mas Gibran, seharusnya mengundurkan diri, tidak ikut serta dalam perkara tersebut.
Keikutsertaan Anwar Usman dalam perkara tersebut, menurut ketentuan, membuat putusan MK tidak sah.
Namun, bagaimana dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang secara tegas mengatakan bahwa putusan MK adalah final dan mengikat? Artinya, tidak bisa diutak atik lagi?
Di sinilah debat hukumnya, karena ada dua instrumen hukum (undang-undang) yang derajatnya sama, saling beradu.
Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim yang ikut dalam sebuah perkara dan ia memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara itu, maka putusannya tidak sah.
Di lain sisi, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sudah tidak bisa diutak atik lagi.
Berhadapan keadaan ini, saya membayangkan bahwa kita mengambil terobosan hukum. Di satu sisi, kita tidak mengorbankan Mas Gibran, di sisi lain, kita tidak menerjang aturan main yang baku.
Kita harus berbesar jiwa melakukan retrial (membuka) perkara ini. Apalagi, dalam UU No 48 Tahun 2009, membolehkan melakukan pemeriksaan kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda, terhadap perkara yang diputus oleh hakim yang memiliki kepentingan dengan perkara yang ditanganinya.
Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi harus mengambil inisiatif untuk melakukannya. Jangan dianggap masalah ini berlalu begitu saja, toh masyarakat akan melupakannya kelak. Tidak boleh seperti itu.
Masalahnya, prinsip seorang hakim tidak boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan dirinya, bukan sekadar perintah undang-undang, tetapi itu adalah prinsip universal yang berlaku di negara-negara yang beradab. Nemo judex idoneous in propria causa (tak seorang pun menjadi hakim dalam perkaranya sendiri).
Bila prinsip ini kita tidak tegakkan, di mana muka bangsa ini kita taruh? Apakah kita masih bisa berjalan dengan kepala tegak di antara bangsa-bangsa beradab?
Dalam film Just Mercy, Michael Bakari Jordan, memerankan lakon pengacara muda, bernama Bryan Stevenson, yang gigih membela hak-hak kaum papa di Alabama, Amerika Serikat.
Stevenson membela Walter McMillan (Jamie Fox), yang sudah bertahun-tahun dalam penjara, menanti kapan petugas penjara datang memanggilnya untuk menjalani eksekusi mati. Stevenson tidak putus harapan.
Ia membuktikan bahwa hukuman mati atas kliennya adalah semena-mena karena ia dituduh membunuh dan dihukum hanya karena kesaksian palsu dari seorang pembunuh yang ingin meringankan beban hukumannya sendiri.
Stevenson, berdasarkan bukti itu, memohon ke Mahkamah Agung agar kasus yang ditanganinya itu, dibuka ulang (retrial). Mahkamah membolehkannya dan ia menangkan perkara itu.
Dalam perjalanan dari penjara ke rumah keluarga McMillan, Stevenson mengatakan: “Kita tidak bisa mengubah dunia hanya dengan ide dan gagasan. Kita harus memiliki keyakinan dalam hati kita.”
Ya, sebaiknya kita memiliki keyakinan dalam hati kita untuk memeriksa ulang perkara putusan MK yang berkaitan dengan Gibran tersebut. Hati harus bicara. Bukan kekuasaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.