DI EPOS Ramayana, yang di Jawa sudah ditransformasikan menjadi beragam seni pertunjukan, diceritakan Raja Alengka menculik Dewi Shinta, istri Sri Rama.
Di mata Raja Alengka – dikenal dengan nama Rahwana, Dasamuka – Shinta dianggap titisan Dewi Widowati, perempuan yang sangat dicintainya.
Suatu ketika Rama berburu di hutan dengan mengajak istrinya. Mereka ditemani Laksmana, adik Rama. Tiba-tiba Shinta terpikat seekor kijang berbulu keemasan sangat indah, yang melompat-lompat di depan pondok tempat istirahat Rama dan istrinya.
Shinta mendesak suaminya untuk mengejar dan menangkapnya. Tak kuasa melawan desakan istri tercinta, Rama mengejar kijang tersebut. Kijang terus berlari menjauhi pondok.
Kijang itu sesungguhnya jelmaan manusia suruhan Rahwana untuk memancing Rama menjauhi pondoknya. Siasat memancing Rama menjauhi pondok berhasil.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan Rama di kejauhan. Shinta menyuruh Laksmana untuk menyusul suaminya.
Namun, Laksmana menolak. Sifat kritisnya meyakini bahwa suara tadi kamuflase saja, bukan suara Rama yang sesungguhnya.
Shinta marah mendengar jawaban Laksmana. Ia menuduh adik iparnya itu berkhianat dan memiliki maksud jahat.
Laksmana tersinggung mendengar tuduhan Shinta. Namun, sebelum pergi, ia terlebih dulu menciptakan pagar gaib berupa garis pelindung yang mengelilingi pondok tersebut.
Tak lama setelah Laksmana pergi, datanglah orangtua yang kehausan dan minta minum kepada Shinta. Orangtua tersebut sesungguhnya adalah jelmaan Rahwana. Ia tidak dapat memasuki pondok, karena terhalang pagar gaib Laksmana.
Shinta pun merasa kasihan, lalu mengulurkan tangannya untuk memberi minum orangtua. Pucuk dicinta ulam pun tiba, orangtua menarik lengan Shinta.
Orangtua beralihrupa kembali sebagai Rahwana, lalu menggendong tubuh Shinta dan membawanya ke Kerajaan Alengka.
Sri Rama dan Shinta terpedaya oleh siasat “alihrupa” Raja Alengka. Laksmana yang kritis pun kehilangan kesabaran, karena provokasi Shinta yang terus-menerus dan menyakitkan.
Siasat alihrupa pernah menjadi modus (arus utama) politik pada zaman Orde Baru. Untuk menyerap kekuasaan hingga bertahan tiga dasawarsa lebih, Presiden Soeharto kala itu memainkan siasat alihrupa dengan sempurna.
Partai politik dikebiri. Ormas diawasi ketat. Pers diancam bredel. Kampus disterilisasi.
Seluruh saluran aspirasi dibungkam. Tak boleh ada kritik. Dilarang bersuara sumbang, apalagi unjuk rasa.
Seniman kritis tak boleh pentas. Buku-buku kontra pemerintah dilarang beredar. Meski buku akademik. Meski hanya novel.
Seingat saya buku berjudul Kapitalisme Semu Asia Tenggara (terjemahan) karya Yoshihara Kunio (LP3ES, 1990) termasuk yang pernah ditarik dari peredaran. Buku itu sangat akademis dan dibutuhkan oleh perguruan tinggi, karena hasil riset akademis.
Namun, dianggap ancaman, karena tak bertopeng, tak alihrupa. Kunio menyampaikan temuan risetnya apa adanya, autentik.
Sementara itu, keautentikan dibenci Soeharto. Isi buku Kunio itu sebagian memang tentang kerajaan bisnis anak-anak Soeharto, kerabat dan orang-orang terdekatnya.
Tatkala keautentikan dibenci, perilaku alihrupa menjadi biasa. Politik lalu identik dengan panggung pertunjukan perilaku alihrupa, politik bertopeng, politik “ethok-ethok” (pura-pura).
Pemilu ya ethok-ethok (pura-pura pemilu), DPR ya ethok-ethok (pura-pura DPR), partai politik (parpol) ya ethok-ethok (pura-pura parpol). Berarti demokrasi yang dijalankan ya ethok-ethok.