Hanya saja, cara-cara instan yang dipertontokan Jokowi sungguh pengingkaran akan proses lahirnya kepemimpinan Jokowi. Bermula dari Solo, matang di DKI Jakarta dan teruji lagi saat menjabat presiden.
Dari tayangan Rosi yang bertajuk “Rakyat Percaya Siapa: Jokowi, Ketua MK atau Gibran?” tersebut, akhirnya kita bisa meyakini kenyataan atau bahkan ditunjukkan tabiat “asli” dari seorang Jokowi yang selama ini dibela mati-matian oleh Goenawan Mohamad, saya, Anda dan jutaan rakyat Indonesia lainnya.
Goenawan Mohamad begitu bungah saat mendengar cerita rekannya Eri Riyana Hardjapamekas bertemu Jokowi sebelum terbitnya putusan MK yang memuluskan langkah pencawapresan Gibran.
Cerita Eri yang menyebut Jokowi menyambut saran positifnya agar Gibran tidak maju sebagai Cawapres adalah harapan Goenawan Mohamad. Harapannya, Jokowi nantinya meninggalkan legacy.
Bahkan masih dari kisah Eri, Jokowi mendengar masukannya agar Gibran tetap fokus di Solo saja dan kembali ke PDI-P.
Pantas jika raut muka kolomnis “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo itu menjadi keluh dan jawabannya begitu lirih melihat kenyataan langkah-langkah Jokowi selanjutnya.
Sebagai jurnalis senior dan paling terkemuka yang masih hidup saat ini, Goenawan tahu betul jejak rekam Prabowo Subianto sehingga dirinya tidak rela Jokowi malah menyandingkannya dengan Gibran.
Sekali lagi, pantas jika Goenawan Mohamad bersedih ketika kebohongan demi kebohongan terus diproduksi demi proses pelanggengan kekuasaan.
Ketika ide jabatan presiden hingga tiga periode dan perpanjangan masa jabatan karena pandemi ditentang keras oleh Megawati Soekarnoputri, PDI-P dan publik, maka menyiapkan Gibran sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto tetap saja bisa dianggap sebagai estafet kepemimpinan Jokowi yang dipaksakan.
Cara-cara yang tidak beradab dengan mengakali hukum dan mengonsolidasikan kekuatan besar partai-parai politik serta dukungan aparat yang memihak rezim, tentu saja pantas dirisaukan oleh Goenawan Mohamad, saya, Anda dan jutaan rakyat Indonesia.
Politik belah bambu yang sengaja dimainkan elite-elite sekarang ini, secara sadar dan tidak sadar begitu membahayakan integrasi bangsa. Bayangkan partai yang berseberangan dengan kehendak elite diadu dengan partai orbital sang elite.
Di tingkat akar rumput, pendukung rasional dan pemuja berkaca mata kuda sengaja dibenturkan untuk mendukung langkah pembenar yang ternyata tidak benar. Silih berganti gerbong relawan dikonsolidasikan di Istana untuk mendukung langkah sang putra.
Sementara partai gurem yang telah “diakusisi” lewat putra bungsunya, kini sigap menampung barisan relawan untuk mendukung Gibran.
Dasyatnya, hampir di semua daerah ekspansi dan promosi partai tersebut menghenyak publik karena tetiba “tajir” bisa memasang baliho raksasa di mana-mana.
Jika infrastruktur pemerintahan bisa digalang untuk mendukung eksistensi sang elite, maka jangan hiraukan soal etika pemerintahan mengingat etika sudah mulai dilupakan.