KAWAN saya, mantan aktivis mahasiswa, sudah tiga kali maju sebagai calon anggota legislatif. Sebagai anak dari keluarga biasa, ia seperti menempuh jalan penuh onak dan duri. Tiga kali maju, tiga-tiganya kalah.
Padahal, sebagai mantan aktivis dengan idealisme hendak mengubah dunia, kawan saya sudah menjalani politik layaknya ost "Ninja Hatori": mendaki gunung, lewati lembah.
Sebagai calon Wakil Rakyat, segala modal sudah ia punyai: punya gagasan, sering mengadvokasi persoalan rakyat, kemampuan beretorika, empati dan keberpihakan pada rakyat kecil, rajin turun ke bawah, dan punya rekam jejak bersih.
Hanya saja, kawan saya tidak punya satu modal yang dianggap terpenting masa kini: uang. Maklum, dia datang dari keluarga petani kecil.
Meskipun bergelar sarjana, pekerjaannya tak menentu. Dia dijadikan Caleg sekadar untuk menambah suara partai.
Nasibnya berbeda antara langit dan bumi dengan seorang anak muda. Sebut saja namanya Mawar. Dia anak dari seorang pejabat yang masih berkuasa, keluarganya memegang banyak bisnis, dan lulusan kampus ternama.
Meskipun tak pernah berpeluh turun ke bawah bertemu rakyat, wajahnya hadir di banyak billboard, baliho dan spanduknya menghiasi sepanjang jalan dan perempatan.
Dan yang terpenting, pada saat Pemilu, ia bisa melakukan serangan fajar. Uangnya bisa membeli suara rakyat.
Salah satu persoalan yang terus menggerus kualitas dan integritas demokrasi di Indonesia adalah politik uang.
Politik uang membuat seleksi pemimpin politik tidak berdasarkan kapasitas dan rekam jejak, melainkan karena kekuatan sumber daya. Dalam hal ini, uang menjadi faktor penentu pilihan politik.
Politik uang dapat dipahami sebagai bentuk mobilisasi elektoral dengan cara memberikan uang, hadiah atau barang kepada pemilih agar dicoblos dalam pemilu (Burhanuddin Muhtadi, 2019).
Namun, politik uang tak hanya menyasar pemilih, tetapi juga terkadang penyelenggara pemilu. Meski dilarang, praktik politik uang di Indonesia sangat umum.
Politik uang berbentuk praktik jual beli suara (vote buying). Dari segi waktu biasanya dilakukan jelang pemilu atau apa yang kita kenal dengan “serangan fajar.”
Politik uang juga bisa berbentuk proyek gelondongan, kolektif dan lebih bersifat jangka panjang dengan menyalahgunakan kebijakan program pemerintah, seperti bantuan sosial atau hibah maupun dana pork barrel atau proyek gentong babi (pengerahan anggaran oleh politisi/anggota parlemen ke daerah pemilihannya, seperti dana aspirasi) untuk kepentingan elektoral.
Modus lainnya berbentuk bantuan sosial dan sedekah, seperti pemberian sejumlah uang ke tempat ibadah, pembangunan fasilitas umum, kegiatan keagamaan, maupun kegiatan sosial.