Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Republik dalam Belenggu Politik Uang

Kompas.com - 03/11/2023, 09:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ada beragam faktor yang membuat politik uang tumbuh subur dalam lingkungan politik Indonesia.

Pertama, merosotnya kedekatan warga dengan partai politik (party-ID) yang angkanya di bawah 20 persen. Semakin rendah party-ID berarti semakin rendah keinginan pemilih menjatuhkan pilihan berdasarkan kesukarelaan (voluntarisme).

Kedua, sistem multipartai ekstrem yang tidak disertai dengan tata kelembagaan yang baik dan diferensiasi ideologis, sehingga pemilih sulit membedakan kualitas partai dan orientasi ideologisnya.

Ketiga, sistem pemilu proporsional terbuka memberi insentif kepada kandidat untuk meraih suara terbanyak lewat mobilisasi sumber daya, termasuk uang.

Keempat, kemiskinan dan ketimpangan juga menjadi bahan bakar bagi politik uang. Tak jarang terjadi, pemilih menukar suaranya dengan uang atau sepaket sembako.

Kelima, patronase dan klientelisme juga berkontribusi dalam menyuburkan politik uang di Indonesia.

Patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukungnya. Sedangkan klientalisme merujuk pada relasi antara politisi (patron) dengan pemilih (klien) yang sifatnya hierarkis, timbal-balik, dan terus-menerus.

Politik uang sudah menjadi penyakit kronis dalam sistem demokrasi di Indonesia. Bahkan sudah pada level yang sangat merusak.

Berdasarkan temuan Burhanuddin Muhtadi (2019), tingkat politik uang di Indonesia menempati peringkat terbesar ketiga di dunia, yakni 33 persen. Indonesia hanya kalah dibandingkan Uganda (41 persen) dan dan Benin (37 persen).

Sementara menurut riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 72 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah terpapar politik uang pada Pemilu 2019.

Bahaya politik uang

Politik uang sangat membahayakan hulu dan hilir politik Indonesia. Pada aspek hulu, politik uang mencemari proses pemilu karena suara rakyat tidak bersumber pada nurani dan kesadaran pribadi, melainkan karena uang atau jenis keuntungan material lainnya.

Politik uang juga membuat kontestasi elektoral menjadi lapangan pertandingan yang tidak setara (uneven playing field). Mereka yang punya sumber daya politik melimpah bisa meraup banyak suara tanpa harus berkeringat memaparkan atau mensosialisasikan program politik.

Pada aspek hilir, politik uang menjadi salah satu penyebab dari korupsi, bahkan ada istilah “induk korupsi” (mother of corruption).

Politik uang menghadirkan tiga kombinasi buruk dalam politik: biaya tinggi, orientasi politik untuk menumpuk kekayaan, dan korupsi sebagai jalan pintas untuk menumpuk kekayaan sekaligus menambal biaya yang sudah dikeluarkan oleh politisi.

Pemilu yang tercemari oleh politik uang akan menghasilkan pemimpin atau pejabat politik yang tidak memiliki kapasitas, miskin pengalaman, tuna-gagasan, berorientasi kepentingan pribadi dan kelompok, sangat korup, dan klientalistik.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 16 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 16 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pedangdut Nayunda Nabila Irit Bicara Usai Diperiksa Jadi Saksi TPPU SYL

Pedangdut Nayunda Nabila Irit Bicara Usai Diperiksa Jadi Saksi TPPU SYL

Nasional
KSP Ungkap 9 Nama Pansel Capim KPK Harus Sudah di Meja Setneg Akhir Mei, Juni Bekerja

KSP Ungkap 9 Nama Pansel Capim KPK Harus Sudah di Meja Setneg Akhir Mei, Juni Bekerja

Nasional
Uang Kuliah Mahal, Pengamat: Kebijakan Pemerintah Bikin Kampus Jadi Lahan Bisnis

Uang Kuliah Mahal, Pengamat: Kebijakan Pemerintah Bikin Kampus Jadi Lahan Bisnis

Nasional
Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Pansel Capim KPK Didominasi Unsur Pemerintah, KSP Beralasan Kejar Waktu

Nasional
BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

Nasional
Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Nasional
Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Nasional
Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Nasional
Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

Nasional
Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nasional
LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com