Ada beragam faktor yang membuat politik uang tumbuh subur dalam lingkungan politik Indonesia.
Pertama, merosotnya kedekatan warga dengan partai politik (party-ID) yang angkanya di bawah 20 persen. Semakin rendah party-ID berarti semakin rendah keinginan pemilih menjatuhkan pilihan berdasarkan kesukarelaan (voluntarisme).
Kedua, sistem multipartai ekstrem yang tidak disertai dengan tata kelembagaan yang baik dan diferensiasi ideologis, sehingga pemilih sulit membedakan kualitas partai dan orientasi ideologisnya.
Ketiga, sistem pemilu proporsional terbuka memberi insentif kepada kandidat untuk meraih suara terbanyak lewat mobilisasi sumber daya, termasuk uang.
Keempat, kemiskinan dan ketimpangan juga menjadi bahan bakar bagi politik uang. Tak jarang terjadi, pemilih menukar suaranya dengan uang atau sepaket sembako.
Kelima, patronase dan klientelisme juga berkontribusi dalam menyuburkan politik uang di Indonesia.
Patronase merujuk pada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukungnya. Sedangkan klientalisme merujuk pada relasi antara politisi (patron) dengan pemilih (klien) yang sifatnya hierarkis, timbal-balik, dan terus-menerus.
Politik uang sudah menjadi penyakit kronis dalam sistem demokrasi di Indonesia. Bahkan sudah pada level yang sangat merusak.
Berdasarkan temuan Burhanuddin Muhtadi (2019), tingkat politik uang di Indonesia menempati peringkat terbesar ketiga di dunia, yakni 33 persen. Indonesia hanya kalah dibandingkan Uganda (41 persen) dan dan Benin (37 persen).
Sementara menurut riset Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 72 persen masyarakat Indonesia mengaku pernah terpapar politik uang pada Pemilu 2019.
Politik uang sangat membahayakan hulu dan hilir politik Indonesia. Pada aspek hulu, politik uang mencemari proses pemilu karena suara rakyat tidak bersumber pada nurani dan kesadaran pribadi, melainkan karena uang atau jenis keuntungan material lainnya.
Politik uang juga membuat kontestasi elektoral menjadi lapangan pertandingan yang tidak setara (uneven playing field). Mereka yang punya sumber daya politik melimpah bisa meraup banyak suara tanpa harus berkeringat memaparkan atau mensosialisasikan program politik.
Pada aspek hilir, politik uang menjadi salah satu penyebab dari korupsi, bahkan ada istilah “induk korupsi” (mother of corruption).
Politik uang menghadirkan tiga kombinasi buruk dalam politik: biaya tinggi, orientasi politik untuk menumpuk kekayaan, dan korupsi sebagai jalan pintas untuk menumpuk kekayaan sekaligus menambal biaya yang sudah dikeluarkan oleh politisi.
Pemilu yang tercemari oleh politik uang akan menghasilkan pemimpin atau pejabat politik yang tidak memiliki kapasitas, miskin pengalaman, tuna-gagasan, berorientasi kepentingan pribadi dan kelompok, sangat korup, dan klientalistik.