Waktu itu Sukarno dan Hatta sama-sama terkenal dengan PNI-nya. Kedua partai itu memiliki cara berbeda dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sukarno dengan Partai Nasional Indonesia berupaya memperjuangkan kemerdekaan dengan mengumpulkan massa sebanyak mungkin.
Sedangkan Hatta dengan Partai Pendidkan Nasional Indonesia memperjuangkan kemerdekaan dengan mendidik para kadernya agar memiliki kesadaran kewarganegaraan yang kuat, sehingga mampu memperjuangkan hak-hak sipilnya tanpa pengaruh tokoh manapun.
Bung Karno dan Bung Hatta bukan hanya sekadar pemuda biasa. Jauh dari katabelece anak seorang pembesar. Kendati keduanya pernah digembleng langsung oleh Sosrokartono.
Sukarno muda juga telah mengenyam keras tempaan Cokroaminoto semasa nyantrik di rumahnya Jalan Peneleh, kala bersekolah di HBS (setingkat SMA) Surabaya.
Dari Raja Jawa tanpa Mahkota inilah, Sukarno mendapatkan keahliannya berpidato hingga menggemparkan dunia.
Puncaknya terjadi jauh setelah ia menjabat sebagai presiden pertama Republik Indonesia dan berpidato di Sidang Umum PBB dengan judul “To Build the World Anew” pada 1960. Kini pidato itu ditetapkan UNESCO sebagai Ingatan Kolektif Dunia.
Lebih dari itu, mereka adalah pemuda tipikal pilih tanding. Keduanya belajar hingga ke jenjang tertinggi. Bung Hatta bahkan melanjutkan kuliahnya ke Belanda di Universitas Erasmus Rotterdam selama rentang tahun 1921–1932.
Di sana, ia turut pula memimpin Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925.
Kemampuan keduanya saat memimpin partai, juga nyaris setara. Bung Karno adalah singa podium, pun demikian dengan Bung Hatta yang mahir mengolah kata saat berorasi—dan juga menulis.
Ada ratusan artikel dan puluhan judul buku yang telah mereka terbitkan sejak Zaman Bergerak hingga memasuki era kemerdekaan. Tak jarang mereka sering terlibat polemik terkait konsep dan bentuk negara yang diidamkan para pemuda pergerakan pada masa itu.
Tulisan ini bukan mengandung nuansa antipada para pemuda yang jelas menjadi tulang punggung bangsa, terutama bangsa kita. Justru sebaliknya.
Dengan segenap kerendahan hati, penulis teramat sangat ingin melihat anak-anak muda di negeri ini, meneladani para pembangun bangsa dan negaranya lagi.
Pelajarilah bagaimana mereka mendidik dirinya dalam kawah candradimuka, hingga tampil ke permukaan sebagai pembesar sejati. Tokoh pejuang yang tetap humanis. Negarawan terhormat. Bapak bagi segenap rakyatnya.
Negara kita tercinta ini memang milik seluruh WNI. Punya UUD yang telah disepakati dan perubahan atasnya karena perubahan yang lazim.
Tidak boleh ada yang melarang siapa pun yang ingin menjadi siapa—termasuk memimpin negara besar seperti Indonesia. Tapi ketauhilah, menjadi manusia paripurna itu butuh proses. Tidak cukup hanya sekadar sendiko dawuh, apalagi aji mumpung.
Jika pada masa lalu para raja Singhasari dan Majapahit, misalnya, harus menggembleng diri dalam mandala kadewaguruan di wilayah pegunungan, maka pada zaman kiwari ini, di manakah anak-anak muda kita harus mengasah seluruh potensi diri yang telah dianugerahkan Tuhan kepada mereka?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.