Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika MK Dianggap Jadi "Mahkamah Keluarga" yang "Makin Kesasar"...

Kompas.com - 18/10/2023, 05:15 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengetuk putusan yang mengejutkan. Salah satu gugatan uji materi yang menyoal aturan syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dikabulkan.

Melalui putusan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 ini, MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu inkonstitusional bersyarat.

Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah," ujar Anwar Usman.

Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Baca juga: Gibran Bisa Maju Pilpres 2024, MK Disebut Meneguhkan Dinasti Politik Jokowi

Adapun dari tujuh gugatan syarat usia capres-cawapres yang diputuskan MK pada Senin kemarin, hanya satu yang dikabulkan.

Gugatan tersebut dimohonkan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru. Dalam gugatannya, Almas yang merupakan warga Surakarta ini mengaku mengagumi sosok Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.

Almas khawatir, Gibran tak bisa berlaga pada Pemilu (Pilpres) 2024 karena terhalang syarat usia minimal capres-cawapres. Sebab, putra sulung Presiden Joko Widodo itu baru berumur 36 tahun.

Ubah pendirian

Dalam memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, hanya tiga hakim konstitusi yang sepenuhnya setuju mengubah syarat capres-cawapres. Ketiganya yakni hakim Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, dan Guntur Hamzah.

Sementara, hakim Daniel Yusmic Foekh dan Enny Nurbaningsih menyatakan alasan berbeda (concurring opinion) meski sepakat pada putusan yang sama.

Lalu, ada empat hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), tak setuju MK mengabulkan gugatan ini. Keempatnya, yaitu, hakim Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat.

Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra.Fabian Januarius Kuwado Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra.
Dalam sidang putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, hakim Saldi Isra yang menyatakan dissenting opinion, mengungkap bahwa secara keseluruhan, terdapat belasan permohonan uji materi syarat usia capres-cawapres yang termaktub dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Dari belasan perkara tersebut, hanya perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengarkan keterangan presiden, DPR, pihak terkait, dan ahli.

Untuk memutus tiga perkara itu, MK menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 19 September 2023. RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi, yaitu, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.

“Tercatat, RPH tanggal 19 September 2023 tersebut tidak dihadiri oleh Hakim Konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman,” ujar hakim Saldi.

Hasil RPH menyatakan bahwa enam hakim konstitusi sepakat menolak permohonan pemohon. Enam hakim juga tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang.

Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya memilih sikap berbeda atau dissenting opinion.

Baca juga: Anwar Usman, Mengubah Pendirian MK dalam 48 Jam

Saldi melanjutkan, Mahkamah menggelar RPH berikutnya untuk memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan nomor 91/PUU-XXI/2023 yang juga menyoal syarat usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q. RPH kedua tersebut dihadiri oleh sembilan hakim kosntitusi, tak terkecuali Anwar Usman.

Dalam RPH itu, ungkap Saldi, beberapa hakim yang semula memosisikan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka, tiba-tiba menunjukkan ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam petitum Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.

“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” ungkap Saldi.

Dari lima hakim konstitusi yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023, tiga hakim membuat syarat alternatif bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencaonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk kepala daerah.

Sementara, dua hakim konstitusi lain yang setuju untuk “mengabulkan sebagian” gugatan, membuat alternatif aturan bahwa jika seseorang belum berusia 40 tahun, tetap bisa mencaonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menjabat sebagai gubernur.

Baca juga: Ada Nama Gibran di Gugatan Almas Tsaqibbirru, Satu-satunya yang Dikabulkan MK

Atas dinamika ini, Saldi pun bertanya-tanya, jika RPH yang digelar untuk memutus Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi, akankah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 masih tetap didukung mayoritas hakim sebagai kebijakan hukum terbuka atau tidak.

Sebaliknya, jika RPH memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap sama dengan komposisi hakim dalam Putusan MK Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yaitu tetap delapan hakim tanpa dihadiri hakim Anwar Usman, apakah putusan akan tetap sama atau berbeda.

“Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi halim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,” tutur Saldi.

Masih dalam persidangan yang sama, hakim Arief Hidayat, yang juga menyatakan dissenting opinion, turut mengungkap kejanggalan putusan MK ini.

Sama dengan Saldi, Arief mengungkap bahwa dalam RPH pertama, Anwar Usman tidak hadir. Alasannya, demi menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres dan cawapres.

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming RakaKOMPAS.COM/Fristin Intan Sulistyowati Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka
Diketahui, Anwar merupakan suami dari Idayati, adik kandung Presiden Joko Widodo. Dengan kata lain, Anwar adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka.

Namun, lanjut Arief, ketika Anwar hadir dalam RPH untuk memutus perkara 90/PUU-XXI/2023, sejumlah hakim konstitusi mengubah pendirian soal syarat capres-cawapres.

"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar 'dikabulkan sebagian'. Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief.

“Mahkamah Keluarga”

Putusan MK yang mengubah syarat capres-cawapres ini pun dinilai meneguhkan dinasti politik keluarga Jokowi. Pasalnya, berkat putusan tersebut, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, berpeluang maju sebagai capres atau cawapres pada Pilpres 2024.

Apalagi, sejak lama Gibran digadang-gadang jadi cawapres pendamping bakal capres Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto.

“Jika dengan putusan ini Gibran Rakabuming Raka melenggang ke pilpres, tidak perlu analisis rumit untuk mengatakan bahwa putusan MK memang ditujukan untuk mempermudah anak Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinan bapaknya dan meneguhkan dinasti Jokowi dalam perpolitikan Indonesia,” kata Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, kepada Kompas.com, Selasa (12/10/2023).

Hendardi berpendapat, upaya Jokowi membangun dinasti politik jelas terlihat. Sampai-sampai, adik iparnya yang tak lain adalah Ketua MK, Anwar Usman, turun tangan untuk memuluskan jalan Gibran melenggang ke panggung pemilihan.

“Pernyataan Saldi Isra sangat jelas dan terang benderang tentang Anwar Usman yang memimpin praktik penyimpangan konstitusi dengan mengubah putusan,” ujar Hendardi.

“Sikap yang seharusnya diambil Anwar adalah abstain. Tapi ini malah mengorkestrasi putusan yang sesat, melampaui kewenangan dan cacat konstotusional,” ujarnya.

Menurut Hendardi, putusan uji materi ini membuktikan bahwa MK bekerja untuk keluarga, bukan untuk bangsa. Ini kian membuktikan kekhawatiran publik akan MK yang berubah menjadi “mahkamah keluarga”.

“Tidak ada presiden yang sesibuk Jokowi dalam mempersiapkan penggantinya kecuali Jokowi,” kata Hendardi.

Sementara, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai, MK menjadi “makin kesasar” karena putusannya terkait syarat capres-cawapres.

Menurut PSHK, MK telah menggadaikan kredibilitas dan muruahnya sebagai pelindung konstitusi. Sebab, putusan MK terkait syarat capres-cawapres inkonsisten.

“Pertimbangan dan amar putusan yang diberikan membuat MK “makin kesasar” alias tersesat,” kata peneliti PSHK, Violla Reininda, kepada Kompas.com, Selasa (17/10/223).

Baca juga: Sinyal Persetujuan Anwar Usman soal Pemimpin Muda, Sebulan Sebelum Putusan MK

Para hakim sebelumnya menolak tegas permohonan pemohon nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan syarat capres-cawapres bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy.

Namun, pada putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara substansi mempersoalkan hal sama, malah mengabulkan permohonan dan menambahkan syarat “berpengalaman sebagai kepala daerah” untuk seseorang maju sebagai capres atau cawapres.

Menurut PSHK, MK telah melakukan praktik cherry-picking jurisprudence untuk menafsirkan open legal policy. Langkah ini amat berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK.

“Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat indikasi desakan, ancaman, ataupun intervensi yang potensial mengganggu independensi hakim konstitusi tersebut,” ucap Violla.

Putusan MK pun dinilai berpotensi menimbulkan ketidakadilan Pemilu 2024. Pembacaan putusan MK juga terkesan dipaksakan lantaran diketuk tiga hari sebelum masa pendaftaran capres-cawapres Pemilu 2024.

“Nuansa politik yang kental sudah terlihat dalam permohonan pengujian undang-undang ini karena dilakukan untuk menyesuaikan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden agar memenuhi kualifikasi dalam mendorong Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Presiden Joko Widodo,” tutur Violla.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

7 Anggota LPSK 2024-2029 Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi

7 Anggota LPSK 2024-2029 Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi

Nasional
Komentari RUU Penyiaran, Mahfud: Keblinger, Masak Media Tak Boleh Investigasi?

Komentari RUU Penyiaran, Mahfud: Keblinger, Masak Media Tak Boleh Investigasi?

Nasional
Modifikasi Cuaca Akan Dilakukan untuk Kurangi Intensitas Hujan di Sumbar

Modifikasi Cuaca Akan Dilakukan untuk Kurangi Intensitas Hujan di Sumbar

Nasional
KPK Periksa Sekjen DPR RI Indra Iskandar

KPK Periksa Sekjen DPR RI Indra Iskandar

Nasional
Sidang Dugaan Pemerasan SYL, Jaksa Hadirkan 5 Pejabat Kementan Jadi Saksi

Sidang Dugaan Pemerasan SYL, Jaksa Hadirkan 5 Pejabat Kementan Jadi Saksi

Nasional
2 Desa di Pulau Gunung Ruang Tak Boleh Lagi Dihuni, Semua Warga Bakal Direlokasi

2 Desa di Pulau Gunung Ruang Tak Boleh Lagi Dihuni, Semua Warga Bakal Direlokasi

Nasional
Sentil DPR soal Revisi UU MK, Pakar: Dipaksakan, Kental Kepentingan Politik

Sentil DPR soal Revisi UU MK, Pakar: Dipaksakan, Kental Kepentingan Politik

Nasional
Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi, Suharto Sah Jadi Wakil Ketua MA

Ucapkan Sumpah di Hadapan Jokowi, Suharto Sah Jadi Wakil Ketua MA

Nasional
Menelusuri Gagasan Jokowi Bakal Dijadikan Penasihat Prabowo

Menelusuri Gagasan Jokowi Bakal Dijadikan Penasihat Prabowo

Nasional
Antam Raih 3 Penghargaan di Ajang CSR dan PDB Award 2024

Antam Raih 3 Penghargaan di Ajang CSR dan PDB Award 2024

Nasional
Kenakan Pakaian Serba Hitam, Sandra Dewi Penuhi Panggilan Kejagung

Kenakan Pakaian Serba Hitam, Sandra Dewi Penuhi Panggilan Kejagung

Nasional
Revisi UU MK Disetujui Pemerintah, Mahfud MD: Sekarang Saya Tak Bisa Halangi Siapa-siapa

Revisi UU MK Disetujui Pemerintah, Mahfud MD: Sekarang Saya Tak Bisa Halangi Siapa-siapa

Nasional
BNPB Kaji Rencana Relokasi Rumah Warga Dekat Sungai dari Gunung Marapi

BNPB Kaji Rencana Relokasi Rumah Warga Dekat Sungai dari Gunung Marapi

Nasional
Gelar Anugerah Jurnalistik Sahabat Bahari 2024, Kementerian KP Usung Tema 25 Tahun Transformasi Kelautan dan Perikanan

Gelar Anugerah Jurnalistik Sahabat Bahari 2024, Kementerian KP Usung Tema 25 Tahun Transformasi Kelautan dan Perikanan

Nasional
KPK Duga SYL Jalan-jalan ke Luar Negeri, tetapi Dibuat Seolah Dinas

KPK Duga SYL Jalan-jalan ke Luar Negeri, tetapi Dibuat Seolah Dinas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com