Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duga Ada Orkestrasi Gugatan Usia Capres-Cawapres di MK, Pakar: Masyarakat Harusnya Marah

Kompas.com - 15/10/2023, 16:56 WIB
Rahel Narda Chaterine,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai adanya skenario yang sengaja dibuat di balik batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Bivitri pun mewanti-wanti masyarakat untuk gelisah akan adanya orkestrasi ini.

"Apa yang terjadi sekarang ini, makanya kita semua harus gelisah, harus marah bahkan. Karena apa yang sudah terjadi belakangan ini orkestrasi," kata Bivitri dalam Diskusi bertajuk "MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan?" yang digelar di Sadjoe Cafe and Resto, Tebet, Jakarta, Minggu (15/10/2023).

Bivitri menilai ada tiga indikasi yang menguat soal dugaan orkestrasi di balik gugatan usia capres-cawapes itu di MK.

Baca juga: Prabowo Dinilai Diuntungkan Jika MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

Pertama, adanya sikap DPR RI dan pemerintah yang sejak 2021 disebut bersepakat untuk tidak mengutak-atik revisi Undang-Undang Pemilu.

Sebab, menurut dia, evaluasi-evaluasi dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya perlu ditambahkan melalui revisi UU Pemilu.

"Jadi itu satu kenapa saya berargumen ada orkestraksi, bahwa DPR dan pemerintah tidak mau merevisi UU Pemilu sehingga cara kita satu-satunya selain melalui Perppu adalah ke MK," ujar dia.

Alasan kedua, karena adanya indikasi bahwa elite politik yang mengajukan gugatan mengubah batas minimal usia pencalonan capres dan cawapres.

Baca juga: Pakar Mencatat MK Tujuh Kali Tolak Gugatan terkait Usia Jabatan Publik

Sebagai informasi, gugatan batas minimal capres-cawapres dalam Undang-undang (UU) Pemilu digugat ke MK. Yang tadinya batas minimalnya 40 tahun ingin diubah menjadi 35 tahun.

"Dalam hal ini yang beredar namanya hanya Gibran (Wali Kota Solo) kan yang di bawah usia 40. Itu mereka kan sudah berani-beraninya menwacanakan mendeklarasikan mengkampanyekan karena sudah mulai ada tuh spanduk-spanduknya, meme, dan lain-lain sebagainya. Padahal itu masih ilegal loh, masi ilegal sampai dengan besok mungkin," ujar dia.

Menurut dia, saat ini elite politik secara tidak beretika sudah mulai mendorong sesuatu yang sebenarnya masih ilegal.

Alasan ketiga, adanya dugaan benturan kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming yang belakangan ramai disebut bakal maju sebagai cawapres pada Pilpres 2024.

"Yang kita punya masalah ada benturan kepentingan antara Ketua MK dengan satu nama di bawah 40 tahun yang sudah beredar itu yaitu Gibran. Apa tuh kaitannya? Kan kita tahu sebenernya Ketua MK adalah paman dari Gibran," ucap Bivitri.

Lebih lanjut, ia pun mengingatkan bahwa legitimasi MK sangat bergantung pada kepercayaan publik.

Sebab, hakim MK tidak banyak sehingga mereka tidak bisa menggantungkan legitimasinya secaraa kuantitas.

Baca juga: Diumumkan MK Senin Depan, Berapa Usia Ideal Capres-Cawapres, 35 atau 40 Tahun?

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 14 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Soal Prabowo Tak Ingin Diganggu Pemerintahannya, Zulhas: Beliau Prioritaskan Bangsa

Nasional
Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Kemendesa PDTT Apresiasi Konsistensi Pertamina Dukung Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Wilayah Transmigrasi

Nasional
Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Pospek Kinerja Membaik, Bank Mandiri Raih Peringkat AAA dengan Outlook Stabil dari Fitch Ratings

Nasional
Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem 'Mualaf Oposisi'

Refly Harun Anggap PKB dan Nasdem "Mualaf Oposisi"

Nasional
Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi 'King Maker'

Berharap Anies Tak Maju Pilkada, Refly Harun: Levelnya Harus Naik, Jadi "King Maker"

Nasional
Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com