JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai adanya skenario yang sengaja dibuat di balik batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Bivitri pun mewanti-wanti masyarakat untuk gelisah akan adanya orkestrasi ini.
"Apa yang terjadi sekarang ini, makanya kita semua harus gelisah, harus marah bahkan. Karena apa yang sudah terjadi belakangan ini orkestrasi," kata Bivitri dalam Diskusi bertajuk "MK: Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Kekuasaan?" yang digelar di Sadjoe Cafe and Resto, Tebet, Jakarta, Minggu (15/10/2023).
Bivitri menilai ada tiga indikasi yang menguat soal dugaan orkestrasi di balik gugatan usia capres-cawapes itu di MK.
Baca juga: Prabowo Dinilai Diuntungkan Jika MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres
Pertama, adanya sikap DPR RI dan pemerintah yang sejak 2021 disebut bersepakat untuk tidak mengutak-atik revisi Undang-Undang Pemilu.
Sebab, menurut dia, evaluasi-evaluasi dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya perlu ditambahkan melalui revisi UU Pemilu.
"Jadi itu satu kenapa saya berargumen ada orkestraksi, bahwa DPR dan pemerintah tidak mau merevisi UU Pemilu sehingga cara kita satu-satunya selain melalui Perppu adalah ke MK," ujar dia.
Alasan kedua, karena adanya indikasi bahwa elite politik yang mengajukan gugatan mengubah batas minimal usia pencalonan capres dan cawapres.
Baca juga: Pakar Mencatat MK Tujuh Kali Tolak Gugatan terkait Usia Jabatan Publik
Sebagai informasi, gugatan batas minimal capres-cawapres dalam Undang-undang (UU) Pemilu digugat ke MK. Yang tadinya batas minimalnya 40 tahun ingin diubah menjadi 35 tahun.
"Dalam hal ini yang beredar namanya hanya Gibran (Wali Kota Solo) kan yang di bawah usia 40. Itu mereka kan sudah berani-beraninya menwacanakan mendeklarasikan mengkampanyekan karena sudah mulai ada tuh spanduk-spanduknya, meme, dan lain-lain sebagainya. Padahal itu masih ilegal loh, masi ilegal sampai dengan besok mungkin," ujar dia.
Menurut dia, saat ini elite politik secara tidak beretika sudah mulai mendorong sesuatu yang sebenarnya masih ilegal.
Alasan ketiga, adanya dugaan benturan kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming yang belakangan ramai disebut bakal maju sebagai cawapres pada Pilpres 2024.
"Yang kita punya masalah ada benturan kepentingan antara Ketua MK dengan satu nama di bawah 40 tahun yang sudah beredar itu yaitu Gibran. Apa tuh kaitannya? Kan kita tahu sebenernya Ketua MK adalah paman dari Gibran," ucap Bivitri.
Lebih lanjut, ia pun mengingatkan bahwa legitimasi MK sangat bergantung pada kepercayaan publik.
Sebab, hakim MK tidak banyak sehingga mereka tidak bisa menggantungkan legitimasinya secaraa kuantitas.
Baca juga: Diumumkan MK Senin Depan, Berapa Usia Ideal Capres-Cawapres, 35 atau 40 Tahun?