Memang, tidak semua demikian. Namun, di Indonesia, tidak sedikit kebijakan politik DPR maupun pemerintah yang pijakan pemikirannya sudah sangat tua, seperti penghinaan martabat kepala negara (lese majeste), hukum penistaan agama (blasphemy), dan mencampuri urusan privat warga Negara (kriminalisasi zina dan kumpul kebo).
Di sisi lain, politik kita begitu gagap menerima ide-ide yang didesakkan oleh perubahan sosial-ekonomi dan kemajuan teknologi, seperti transparansi, keterbukaan informasi publik, partisipasi publik, desentralisasi, kesetaraan gender, keberagaman sebagai kekayaan, dan lain-lain.
Kedua, politik kita sangat lambat merespons isu-isu mendesak maupun kekinian. Survei Indikator Politik pada September 2021, menunjukkan bahwa mayoritas anak muda peduli dengan isu perubahan iklim.
Namun, menurut survei itu, mayoritas anak muda menganggap partai politik belum menjadikan perubahan iklim sebagai agenda politik.
Dua agenda politik yang diperjuangkan kaum marginal, yakni RUU perlindungan PRT dan RUU masyarakat adat, sampai sekarang masih terkatung-katung di DPR. RUU PPRT sudah terkatung-katung selama 19 tahun, sedangkan RUU masyarakat adat sudah 14 tahun.
Ketiga, politik yang menua gagap mengadopsi kemajuan teknologi dalam cara berpikir dan cara kerja. Ketika teknologi memungkinkan proses pengambilan kebijakan lebih transparan dan partisipatif, masih banyak kebijakan politik kita yang tertutup dan top-down.
Ketika teknologi bisa meringkas kendala jarak, waktu, dan biaya, maka tak seharusnya rapat-rapat atau pertemuan politik berlangsung onfline dan berkumpul di satu tempat.
Regenerasi politik diperlukan untuk memperbaharui ide-ide, cara kerja, dan cara bertindak. Pola-pola lama dalam mengelola organisasi, baik partai politik maupun lembaga pemerintahan, harus ditinggalkan.
Perubahan generasi, yang membuat gen milenial, z, dan alpha mendominasi populasi, perlu direspons dengan kepemimpinan politik lebih muda.
Argumentasinya sederhana: tidak ada yang bisa mengekpresikan kepentingan atau aspirasi khas kelompok selain kelompok itu sendiri (Anne Philips, 2000).
Jalan menuju Indonesia emas tinggal 22 tahun. Waktu yang tak lama lagi. Kalau kondisi politik berjalan normal, berarti tinggal empat periode pemerintahan lagi.
Namun, agar bisa berjalan cepat dalam waktu yang singkat itu, dengan segala tantangan yang merintang, Indonesia butuh kelembagaan politik yang adaptif, inovatif, dan responsif. Dan karena itu, Indonesia membutuhkan regenerasi politik dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Karena itu, harus ada langkah politik konkret, seperti kebijakan afirmasi untuk mempercepat regenerasi politik itu.
Pertama, mendukung batas usia calon presiden dan wakil presiden yang lebih muda. Seharusnya, ketika warga Negara sudah memiliki hak pilih, maka pada dirinya juga melekat hak untuk dipilih.
Dunia sedang menuju pada tren batas minimum usia presiden yang lebih muda.