Salin Artikel

Memudakan Politik Indonesia

Di sisi lain, Indonesia sedang mengalami perubahan komposisi demografi. Hasil sensus penduduk 2020 menunjukkan, sebanyak 53,81 persen penduduk Indonesia adalah generasi milenial dan generasi Z. Ini belum menghitung populasi post-gen Z/Alpha yang berjumlah 10,88 persen.

Generasi baru inilah yang akan menjadi saksi sejarah pada saat Indonesia merayakan kemerdekaan emas: mampukah mewujudkan asa sebagai Negara maju dan salah satu dari lima kekuatan ekonomi dunia atau hanya bangsa yang pernah punya mimpi besar yang kandas dan hanya dicatat dalam keping-keping kecil sejarah dunia.

Politik semakin menua

Wajah politik Indonesia semakin menua. Pascareformasi, usia presiden dan wakil presiden rata-rata di atas 50 tahun. Padahal, saat Indonesia merdeka, rata-rata usia pemimpin politiknya adalah 40 tahun.

Pada pemilu 2024 mendatang, dari tiga nama bakal calon presiden yang sudah deklarasi, semuanya berusia di atas 50 tahun: Ganjar Pranowo (54 tahun), Prabowo Subianto (71 tahun), dan Anies Baswedan (54 tahun).

Penuaan juga terjadi di legislatif. Pada 2009-2014, proporsi usia anggota legislatif di atas 50 tahun sebanyak 40 persen. Lalu, pada 2014-2019, jumlahnya meningkat menjadi 45,7 persen. Dan sekarang, jumlahnya sudah melebihi separuh (55 persen).

Parpol-parpol di Indonesia juga kebanyakan dipimpin oleh orang tua. Hanya ada dua partai politik, yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Ummat, yang Ketua Umumnya masuk dalam kategori milenial.

Wajah politik yang menua membuat politik Indonesia makin konservatif, abai dengan isu-isu kekinian, dan gagap memanfaatkan teknologi untuk memodernisasi politik.

Bahaya pembusukan politik

Wajah politik yang menua itu membuat Indonesia sangat lamban dalam mengikuti jejak langkah dunia yang berlari cepat dan terus berubah.

Indonesia berpotensi terjerembab dalam apa yang disebut oleh ilmuwan politik AS, Samuel Huntington, sebagai “pembusukan politik” (political decay).

Pembusukan politik ditandai oleh ketidakstabilan politik, institusi politik kehilangan kredibilitas dan legitimasi, ketimpangan ekonomi, korupsi merajalela, hukum tumpul, dan penaklukan negara oleh segelintir elit (state capture).

Pembusukan politik terjadi karena dua hal. Pertama, lembaga-lembaga politik yang ada gagap beradaptasi perubahan sosial dan ekonomi yang didorong oleh modernisasi.

Kedua, lembaga-lembaga politik yang ada gagal mengakomodasi mobilisasi sosial dari aktor-aktor atau kelompok sosial baru.

Tidak sulit menjelaskan hubungan antara politik yang menua dengan bahaya pembusukan politik.

Pertama, politik yang menua terkadang berdekap erat dengan ide-ide dan nilai-nilai yang juga tua.

Memang, tidak semua demikian. Namun, di Indonesia, tidak sedikit kebijakan politik DPR maupun pemerintah yang pijakan pemikirannya sudah sangat tua, seperti penghinaan martabat kepala negara (lese majeste), hukum penistaan agama (blasphemy), dan mencampuri urusan privat warga Negara (kriminalisasi zina dan kumpul kebo).

Di sisi lain, politik kita begitu gagap menerima ide-ide yang didesakkan oleh perubahan sosial-ekonomi dan kemajuan teknologi, seperti transparansi, keterbukaan informasi publik, partisipasi publik, desentralisasi, kesetaraan gender, keberagaman sebagai kekayaan, dan lain-lain.

Kedua, politik kita sangat lambat merespons isu-isu mendesak maupun kekinian. Survei Indikator Politik pada September 2021, menunjukkan bahwa mayoritas anak muda peduli dengan isu perubahan iklim.

Namun, menurut survei itu, mayoritas anak muda menganggap partai politik belum menjadikan perubahan iklim sebagai agenda politik.

Dua agenda politik yang diperjuangkan kaum marginal, yakni RUU perlindungan PRT dan RUU masyarakat adat, sampai sekarang masih terkatung-katung di DPR. RUU PPRT sudah terkatung-katung selama 19 tahun, sedangkan RUU masyarakat adat sudah 14 tahun.

Ketiga, politik yang menua gagap mengadopsi kemajuan teknologi dalam cara berpikir dan cara kerja. Ketika teknologi memungkinkan proses pengambilan kebijakan lebih transparan dan partisipatif, masih banyak kebijakan politik kita yang tertutup dan top-down.

Ketika teknologi bisa meringkas kendala jarak, waktu, dan biaya, maka tak seharusnya rapat-rapat atau pertemuan politik berlangsung onfline dan berkumpul di satu tempat.

Regenerasi politik diperlukan untuk memperbaharui ide-ide, cara kerja, dan cara bertindak. Pola-pola lama dalam mengelola organisasi, baik partai politik maupun lembaga pemerintahan, harus ditinggalkan.

Perubahan generasi, yang membuat gen milenial, z, dan alpha mendominasi populasi, perlu direspons dengan kepemimpinan politik lebih muda.

Argumentasinya sederhana: tidak ada yang bisa mengekpresikan kepentingan atau aspirasi khas kelompok selain kelompok itu sendiri (Anne Philips, 2000).

Tiga langkah

Jalan menuju Indonesia emas tinggal 22 tahun. Waktu yang tak lama lagi. Kalau kondisi politik berjalan normal, berarti tinggal empat periode pemerintahan lagi.

Namun, agar bisa berjalan cepat dalam waktu yang singkat itu, dengan segala tantangan yang merintang, Indonesia butuh kelembagaan politik yang adaptif, inovatif, dan responsif. Dan karena itu, Indonesia membutuhkan regenerasi politik dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Karena itu, harus ada langkah politik konkret, seperti kebijakan afirmasi untuk mempercepat regenerasi politik itu.

Pertama, mendukung batas usia calon presiden dan wakil presiden yang lebih muda. Seharusnya, ketika warga Negara sudah memiliki hak pilih, maka pada dirinya juga melekat hak untuk dipilih.

Dunia sedang menuju pada tren batas minimum usia presiden yang lebih muda.

Berdasarkan data yang saya himpun merujuk pada konstitusi dan UU Pemilu semua negara di dunia, ada 48 negara di dunia yang Konstitusinya mengatur batas minimum usia presiden dalam rentang 35-39 tahun.

Kemudian ada 24 negara yang batas minimum usia presidennya adalah 34 tahun ke bawah.

Sebaliknya, hanya sekitar 40 negara yang rentang batas minimum usia presidennya antara 40-45 tahun. Indonesia masuk dalam kategori ini. Sebagian besar adalah negara yang menghuni papan tengah dan papan bawah peringkat Indeks Demokrasi dunia.

Kedua, sudah saatnya mempertimbangkan pembatasan masa jabatan ketua umum parpol. Selain itu renegerasi politik, ini juga untuk mencegah patriomionalisme dan politik dinasti.

Bayangkan, ada parpol yang ketua umumnya tidak berganti sejak 1999 hingga sekarang. Dan kalau pun terjadi pergantian, potensinya akan terwariskan ke anak-anaknya.

Ketiga, ruang politik harus dibuka selebar-lebarnya bagi semua ekspresi maupun aspirasi politik warga negara. Bukan hanya kaum muda, tetapi juga kelompok yang selama ini termarginalkan: perempuan, masyarakat adat, kelompok minoritas, dan lain sebagainya.

Semua bentuk rintangan politik bagi politik yang lebih inklusif, seperti persyaratan parpol peserta pemilu yang sangat berat dan mahal, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden/wapres, perlu dihapus.

Politik yang lebih muda, partisipatif, dan inklusif akan lebih memiliki daya tahan, responsif, adaptif, dan inovatif. Politik seperti inilah yang bisa membawa Indonesia berlari kencang menuju Indonesia emas 2045.

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/09/10202791/memudakan-politik-indonesia

Terkini Lainnya

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Seluruh Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Seluruh Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Nasional
Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Nasional
Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Nasional
Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi 'King Maker' atau Maju Lagi

Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi "King Maker" atau Maju Lagi

Nasional
Diresmikan Presiden Jokowi, IDTH Jadi Laboratorium Pengujian Perangkat Digital Terbesar dan Terlengkap Se-Asia Tenggara

Diresmikan Presiden Jokowi, IDTH Jadi Laboratorium Pengujian Perangkat Digital Terbesar dan Terlengkap Se-Asia Tenggara

Nasional
Hujan Lebat yang Bawa Material Vulkanis Gunung Marapi Perparah Banjir di Sebagian Sumbar

Hujan Lebat yang Bawa Material Vulkanis Gunung Marapi Perparah Banjir di Sebagian Sumbar

Nasional
Pemerintah Saudi Tambah Layanan 'Fast Track' Jemaah Haji Indonesia

Pemerintah Saudi Tambah Layanan "Fast Track" Jemaah Haji Indonesia

Nasional
Banjir Luluh Lantakkan Sebagian Sumatera Barat, Lebih dari 40 Orang Tewas

Banjir Luluh Lantakkan Sebagian Sumatera Barat, Lebih dari 40 Orang Tewas

Nasional
Berkaca Kecelakaan di Ciater, Polisi Imbau Masyarakat Cek Dulu Izin dan Kondisi Bus Pariwisata

Berkaca Kecelakaan di Ciater, Polisi Imbau Masyarakat Cek Dulu Izin dan Kondisi Bus Pariwisata

Nasional
Dugaan SYL Memeras Anak Buah dan Upaya KPK Hadirkan 3 Dirjen Kementan Jadi Saksi

Dugaan SYL Memeras Anak Buah dan Upaya KPK Hadirkan 3 Dirjen Kementan Jadi Saksi

Nasional
Jokowi Santap Nasi Goreng dan Sapa Warga di Sultra

Jokowi Santap Nasi Goreng dan Sapa Warga di Sultra

Nasional
Prabowo Klaim Serasa Kubu 'Petahana' Saat Pilpres dan Terbantu Gibran

Prabowo Klaim Serasa Kubu "Petahana" Saat Pilpres dan Terbantu Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke