Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Affan Ramli
Pengajar

Pengajar Berpikir Kritis di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF) dan di Akademi Adat (AKAD)

Janji Politik di Pilpres 2024 yang Tak Logis dan Realistis

Kompas.com - 28/09/2023, 09:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SURVEI Voxpol menemukan sebagian besar pemilih Indonesia tidak menganggap penting janji-janji politik dalam menentukan pilihan.

Hanya 18,3 persen pemilih yang tertarik dengan janji politik. Itupun hanya 16,6 persen yang menagih janji politik kampanye setelah kandidat memenangkan pemilihan.

Jokowi dan presiden Indonesia berikutnya hasil Pemilu 2024 tidak perlu malu dan terbebani secara moral jika tak merealisasikan janji-janji politik.

Toh, sebagian besar pemilih menilai janji-janji politik memang tidak untuk dilaksanakan, sehingga tidak perlu ditagih. Janji politik hanya perlu didesain menarik untuk diperbincangkan saja. Lebih penting dramatis, ketimbang realistis.

Bagaimana kenyataan politik ini dievaluasi? Para pemikir filsafat politik terbelah kedalam dua pandangan merespons pertanyaan ini.

Pandangan pertama, memandang politik memiliki tujuan-tujuan moral, seperti keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan.

Maka janji-janji politik harus diarahkan mencapai tujuan-tujuan itu dan harus dilaksanakan setelah kandidat memenangkan Pemilu.

Pandangan ini saya sebut sebagai mazhab moralisme politik. Mazhab ini diwakili banyak pemikir, sejak Plato, Karl Max, hingga Habermas yang hidup pada era kita.

Pandangan kedua, melihat politik sebagai bagian dari proses alamiah biasa tanpa perlu tujuan moral apapun.

Satu-satunya tujuan politik untuk merebut, menata, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan.

Dalam pandangan kedua ini, janji-janji politik tidak bermakna apa-apa, kecuali dengan janji-janji itu efektif merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Ini mazhab realisme politik.

Dalam mazhab realis, janji-janji politik jikapun akhirnya harus dilaksanakan, tidaklah dalam rangka alasan-alasan moral. Namun karena dipandang berguna dalam mempertahankan kekuasaan belaka.

Pandangan kedua ini diwakili beberapa filsuf politik yang menonjol, seperti Xenophon di era Yunani Kuno, Machiavelli, hingga Jacques Rancière yang lebih kontemporer.

Para politikus Indonesia saat ini tidak memilih pandangan pertama atau pandangan kedua secara tegas. Mereka nampaknya mazhab campuran.

Satu sisi, meyakini politik tak punya tujuan-tujuan moral, saat bersamaan malu-malu kucing mengomunikasikan keyakinan itu kepada publik luas.

Lalu berpura-pura meyakini politik harus mencapai tujuan-tujuan moralisme: keadilan sosial, kesetaraan dan kesejahteraan bersama.

Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, tampaknya terjadi pergeseran secara konsisten dari moralisme politik yang dipraktikkan pada generasi pertama republik ini ke realisme politik era Orde Baru dan generasi Reformasi.

Proses-proses politik yang benar kini dalam realisme politik telah dipahami sebagai proses penuh drama permainan kuasa semata.

Saat ini, publik Indonesia cukup menikmati pertunjukan-pertunjukan elite dalam tukar tambah transaksi membangun koalisi politik yang rentan berubah tiap waktu.

Seperti manuver politik Nasdem dan PKB dan drama patah hatinya Partai Demokrat. Publik juga diajak menerka teka-teki sinyal politik Presiden Jokowi, akankah ia memihak Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto.

Lalu perbincangan publik penuh gairah mengulas langkah-langkah Jokowi mendirikan dinasti politik baru.

Terutama setelah anak bungsunya Kaesang Pangarep resmi menjabat sebagai Ketua Umum PSI dan anaknya yang lain Gibran Rakabuming digosipkan menjadi bakal calon wakil presiden untuk Prabowo Subianto.

Pula, menantunya Bobby Afif Nasution yang menjabat Wali Kota Medan saat ini akan diusung menjadi calon gubernur Sumatera Utara.

Jokowi tidak sendirian, kelakukan mendirikan dinasti politik lebih duluan dimulai oleh para penguasa partai politik lainnya.

Cerita-cerita drama pertunjukan manuver politik koalisi dan dinasti politik ini semua ciri menonjol dari mazhab realis politik Indonesia kekinian yang semakin mapan.

Cerita-cerita yang membuat “mual” tentunya bagi para pemikir politik Indonesia generasi awal sekelas Tan Malaka, Sutan Syahril, dan Mohammad Hatta.

Harusnya, publik Indonesia bersama-sama mengekspresikan dan melampiaskan rasa muak secara massal. Bagaimana tidak, realisme politik kedinastian kini telah mendorong Indonesia stagnan, berjalan di tempat dalam arus evolusi negara modern.

Merujuk Stein Rokkan (1970), negara-negara modern di dunia bergerak dalam empat tahapan. Tahap pertama, ia menyebutnya negara pajak dan militer.

Tahapan kedua, pembangunan negara bangsa. Tahap ke tiga, negara berbasis penggunaan kuasa demokratik, dan tahap ke empat, negara kesejahteraan berbasis ‘kewargaan sosial.’

Hatta dan Syahril sudah mendorong politik Indonesia berkembang ke tahapan ke tiga dan ke empat.

Generasi reformasi malah memaksa republik ini berbalik arah dan stagnan di tahapan ke dua, sebatas pembangunan negara-bangsa. Tak bergerak menuju negara demokratis, apalagi negara kesejahteraan.

Pembangunan negara bangsa kita bukan hanya tidak selesai, semakin ke sini semakin meragukan.

Apakah proyek nation building kita masih berjalan dan berkembang maju. Pada saat negara ini dikuasai dinasti-dinasti politik dan kerajaan-kerajaan bisnis segelintir keluarga.

Perpolitikan Indonesia di usia 78 tahun, harusnya bergerak ke tahapan negara demokratis dan negara kesejehateraan.

Erik Allardt (1993) menyederhanakan penjelasan negara kesejahteraan model Skandinavia dalam tiga kecirian utama.

Pertama, negara memastikan seluruh warga memiliki standar kekayaan minimal untuk bisa hidup secara manusiwi (Living or Having).

Kedua, hubungan-hubungan sosial keseharian dibentuk penuh solidaritas, kohesi, toleransi dan kolaborasi (Loving).

Ke tiga, semua orang mendapat peluang sama besarnya untuk mengaktualisasikan diri lewat ekspresi keyakinan, pandangan, identitas tertentu dari kebudayaan dan pilihan gaya hidup (Being).

Pertanyaannya, apakah mungkin partai-partai politik Indonesia yang dikelola dengan cara tak demokratis dapat membangun negara yang demokratis?

Jika tidak mungkin, tahapan perjalanan selanjutnya menuju negara kesejahteraan (welfare state) bagi Indonesia bagai pungguk merindukan bulan.

Tetapi bagaimanapun, para politisi bebas menyusun janji-janji di Pilpres 2024. Menjadikan Indonesia sebagai negara termaju di dunia dengan penghasilan per kapita setara Eropa dan Amerika.

Atau bahkan janji-janji politik yang lebih dramatis dari itu. Toh, rakyat jelata tidak akan peduli pada janji-janji itu!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pasal-pasal di RUU Penyiaran Dinilai Berupaya Mengendalikan dan Melemahkan Pers

Pasal-pasal di RUU Penyiaran Dinilai Berupaya Mengendalikan dan Melemahkan Pers

Nasional
Korban Meninggal akibat Banjir Lahar di Sumbar Kembali Bertambah, Total 62 Orang

Korban Meninggal akibat Banjir Lahar di Sumbar Kembali Bertambah, Total 62 Orang

Nasional
Indonesia Dukung Pembentukan Global Water Fund di World Water Forum Ke-10

Indonesia Dukung Pembentukan Global Water Fund di World Water Forum Ke-10

Nasional
Waisak 2024, Puan Ajak Masyarakat Tebar Kebajikan dan Pererat Kerukunan

Waisak 2024, Puan Ajak Masyarakat Tebar Kebajikan dan Pererat Kerukunan

Nasional
Jokowi Ucapkan Selamat Hari Raya Waisak, Harap Kedamaian Selalu Menyertai

Jokowi Ucapkan Selamat Hari Raya Waisak, Harap Kedamaian Selalu Menyertai

Nasional
Kementerian KKP Bantu Pembudidaya Terdampak Banjir Bandang di Sumbar

Kementerian KKP Bantu Pembudidaya Terdampak Banjir Bandang di Sumbar

Nasional
Jokowi Bakal Jadi Penasihatnya di Pemerintahan, Prabowo: Sangat Menguntungkan Bangsa

Jokowi Bakal Jadi Penasihatnya di Pemerintahan, Prabowo: Sangat Menguntungkan Bangsa

Nasional
Soal Jatah Menteri Demokrat, AHY: Kami Pilih Tak Berikan Beban ke Pak Prabowo

Soal Jatah Menteri Demokrat, AHY: Kami Pilih Tak Berikan Beban ke Pak Prabowo

Nasional
Prabowo: Saya Setiap Saat Siap untuk Komunikasi dengan Megawati

Prabowo: Saya Setiap Saat Siap untuk Komunikasi dengan Megawati

Nasional
Tak Setuju Istilah 'Presidential Club', Prabowo: Enggak Usah Bikin Klub, Minum Kopi Saja

Tak Setuju Istilah "Presidential Club", Prabowo: Enggak Usah Bikin Klub, Minum Kopi Saja

Nasional
1.168 Narapidana Buddha Terima Remisi Khusus Waisak 2024

1.168 Narapidana Buddha Terima Remisi Khusus Waisak 2024

Nasional
Menteri AHY Usulkan Pembentukan Badan Air Nasional pada WWF 2024

Menteri AHY Usulkan Pembentukan Badan Air Nasional pada WWF 2024

Nasional
Hormati jika PDI-P Pilih di Luar Pemerintahan, Prabowo: Kita Tetap Bersahabat

Hormati jika PDI-P Pilih di Luar Pemerintahan, Prabowo: Kita Tetap Bersahabat

Nasional
Setiap Hari, 100-an Jemaah Haji Tersasar di Madinah

Setiap Hari, 100-an Jemaah Haji Tersasar di Madinah

Nasional
PDI-P Sebut Anies Belum Bangun Komunikasi Terkait Pilkada Jakarta

PDI-P Sebut Anies Belum Bangun Komunikasi Terkait Pilkada Jakarta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com