JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menetapkan anak bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, sebagai ketua umum dinilai membuktikan kegagalan mekanisme kaderisasi dan tidak memberikan teladan dalam hal politik bagi generasi mendatang.
Menurut peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor, mekanisme kaderisasi adalah inti persoalan dari seluruh partai politik yang ada saat ini.
Kegagalan melakukan kaderisasi melahirkan politikus yang pragmatis yang bekerja demi kepentingan kelompok dan atau malah mencari keuntungan, serta tidak memberikan teladan politik bagi generasi mendatang.
Jika pola kaderisasi seperti itu tetap terjadi maka sulit mengharapkan politikus jempolan lahir dari parpol-parpol yang ada, dan malah dikuasai oleh orang-orang yang berbekal koneksi politik serta bermodal besar, ketimbang politikus yang memahami berbasis keilmuan dalam membuat kebijakan publik bermutu dan menjadi jalan keluar persoalan jangka pendek dan panjang.
Baca juga: Pengangkatan Kaesang Jadi Ketum PSI, Jokowi Efek, dan Kelayakannya
"Kaderisasi akan semakin dimotivasi untuk semakin tidak dilakukan dengan contoh-contoh yang terjadi, yang saat ini dicontohkan oleh PSI," saat dihubungi pada Selasa (26/9/2023).
Kaesang dipilih dan disahkan menjadi Ketua Umum PSI hanya berselang 3 hari setelah menerima kartu tanda anggota.
Kaesang baru sah menjadi anggota partai berlambang bunga mawar Sabtu (23/9/2023) akhir pekan lalu, setelah penyerahan secara simbolis kartu tanda anggota di kediaman sang ayah di Kota Solo, Jawa Tengah.
Dengan proses yang kilat, Kaesang yang baru 3 hari menjadi kader langsung menduduki posisi puncak di PSI.
Baca juga: Gerindra Harap Kaesang Bisa Bikin PSI Dukung Prabowo Capres 2024
Fenomena Kaesang, kata Firman, memperlihatkan PSI adalah sebuah partai politik (parpol) yang masih menerapkan pola lama yang berorientasi hanya pada kekuasaan.
"Ini membuktikan secara internal, PSI bukan satu partai modern yang mengedepankan kaderisasi dan demokrasi yang rasional," ucap Firman.
Menurut Firman, sebuah partai politik yang modern seharusnya dikelola dengan sistem merit. Sebuah sistem manajemen sumber daya manusia yang menjadikan kualifikasi, kompetensi dan kinerja sebagai pertimbangan utama dalam proses perencanaan, perekrutan, penggajian, pengembangan, promosi, retensi, disiplin dan pensiun.
Padahal, kata Firman, PSI yang kerap mengidentikkan diri sebagai partai anak muda dan progresif seharusnya menerapkan sistem itu dalam memilih pucuk pimpinan atau orang-orang yang menduduki jabatan strategis dan membuat keputusan.
"Seharusnya mereka yang punya hak yang bisa memimpin partai dilihat dari kinerja, kemampuannya, rekam jejak, loyalitas, dan dedikasinya," ucap Firman.
Baca juga: Airlangga: Kaesang Jadi Ketum PSI Bagus, Partainya Orang Muda
Firman juga menilai fenomena Kaesang yang secara kilat menjadi Ketua Umum PSI bakal berdampak buruk dalam hal pendidikan politik generasi milenial atau generasi mendatang.
"Ini bisa mematikan semangat generasi milenial terkait politik. Mereka akan melihat pola jika Anda dekat dengan kekusaan, punya dukungan politik dari bapak, enggak usah pinter-pinter amat, punya modal, Anda bisa survive di politik," papar Firman.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.