Secara umum, hari ini, ketiga anak calon penggede tersebut masih berada dalam cerita yang indah, yang mana mereka masih memerankan karakter protogonis.
Mungkin karena yang membuat konten adalah para pendukung dari bapaknya masing-masing, segala hal tentang diri mereka mulai dipersolek agar indah ditonton publik.
Sisi kehidupan mereka berupa pendidikan, prestasi, hobi, mulai muncul dengan narasi yang positif di media sosial.
Alam Ganjar bahkan sedikit lebih maju dalam eksposure ini karena secara eksklusif diundang sebagai tamu program Rosi di Kompas TV.
Berbagai pernyataan dari Alam kini diviralkan dalam bentuk potongan-potongan video. Sampai sejauh ini, sinetron mereka masih menyajikan cerita yang indah bak Drama Korea.
Dalam pandangan penulis, seiring kontestasi pilpres menuju kepastian dalam hal kandidasi, sinteron tentang anak calon penggede itu akan dipenuhi juga dengan drama dan intrik di jalan ceritanya.
Setidaknya akan ada tiga pihak yang memasukan unsur dramatis dan intrik dalam cerita mereka.
Pertama, media media massa. Oleh karena tuntutan mencari berita yang aktual sambil dipoles sebagai bagian dari menjalankan fungsi kontrol sosial, media (baca: pers) akan mulai mengulik cerita-cerita tidak mengenakan dalam perjalanan hidup anak-anak itu.
Perspektif berita bahwa "bad news is good news" kerap diaktualisaikan dalam situasi seperti demikian.
Kedua, pihak yang akan mengubah jalannya cerita yang tadinya indah menjadi penuh intrik dan drama adalah para pendukung bapaknya (bisa kader partai koalisi, relawan, atau simpatisan).
Pengalaman pilpres yang sudah-sudah, masing-masing pendukung akan berupaya mencari kelemahan lawannya. Jika tidak bisa diperoleh dari bapaknya (bacapres), maka pencarian akan diarahkan ke keluarganya.
Sekecil apapun kesalahan yang pernah anak-anak itu perbuat, sangat mungkin dikapitalisasi menjadi kampanye negatif (negative campaign). Bahkan jika tidak ditemukan adanya “cacat” dari anak-anaknya, sangat mungkin tercipta kampanye hitam (black campaign).
Ketiga, pihak yang akan menghadirkan plot twist itu adalah netizen, dengan segala kemahabenaran mereka.
Netizen, entah karena gabut, entah dengan niatan semata dijadikan sebagai konten, sekadar iseng, akun turut larut dalam dramatisasi dan penciptaan intrik-intrik di belakang jalannya cerita anak-anak calon penggede yang ada.
Realitas politik terkait dunia anak-anak penggede (atau calon pengede) hari ini telah menjadi sebuah spectacle (tontonan).
Lantas, dimanakah posisi penononton, dalam hal ini adalah masyarakat pemilik hak suara, menyikapi sinetron anak-anak penggede atau calon penggede tersebut?
Guy Debord (1967), pembuat film dan penulis, dalam bukunya berjudul The Society of The Spectacle, menghadirkan suatu pandangan yang bertujuan mengingatkan penonton (spectactor) terkait realitas spectacle itu.
Menurut Debord, realitas spectacle kerap menghadirkan citra-citra semu. Di balik itu sarat kepentingan kapitalisme.
Apa yang tersaji dari anak-anak penggede bisa saja merupakan bagian dari proyek komodifikasi guna “menipu” masyarakat agar memilih ayahnya atau mendukung aktivitas politik anak-anak itu.
Hal ini karena, dalam pandangan Guy Debord, pandangan masyarakat kerap lebih terfokus pada apa yang direpresentasikan, ketimbang melihat pada apa yang otentik.
Sebagai tontonan, apa yang tersaji bisa saja adalah hasil konstruksi image semata dan bukanlah diri mereka yang “sebenarnya”.
Untuk itu, secara ekstrem Guy Debord mengingatkan kepada spectactor bahwa dunia spectacle kerap mengikis daya kritis hingga menyebabkan kita teralienasi dari diri kita sendiri serta dari realitas sosial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.