Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Husen Mony
Dosen

Mengajar Komunikasi Politik & Jurnalistik/Penulis

Tontonan Politik Anak-anak Penggede: Penuh Drama dan Intrik

Kompas.com - 25/09/2023, 06:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAK sinetron, kisah-kisah anak penggede dalam politik kita selalu menjadi tontonan yang menarik. Diskursus politik nasional belakangan ini menempatkan mereka dalam salah satu bahasan.

Penggede yang saya maksud adalah anak-anak presiden atau anak-anak bakal calon presiden (bacapres).

Berbagai episode sudah sinetron tentang mereka hadir melalui tontonan yang kadang lucu, sedih, penuh intrik, dan tentu saja ada unsur dramatisnya.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023). KOMPAS.com/ Tatang Guritno Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Beberapa waktu lalu, publik baru disuguhi tontonan dramatis terkait anak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

AHY terpaksa harus menelan pil pahit karena di-ghosting oleh Surya Paloh dan Anies Baswedan.

Berbulan-bulan lamanya, AHY berdinamika dengan kelompok yang menamakan diri Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) agar bisa menjadi pendamping Anies, sebagai bakal calon wakil presidennya.

Apa mau dikata, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berhasil “menikung” dan membubarkan kisah pedekate-an tersebut hingga terbentuklah pasangan Anies-Cak Imin.

Episode itu, konon kabarnya tidak luput dari arahan sutradara sekaligus penulis skenarionya bernama Surya Paloh.

Lantas apa yang terjadi dengan AHY? Ketua umum Partai Demokrat tersebut marah karena merasa dikhianati.

Meski begitu, sebagaimana pernyataan AHY ke publik pada sesi konferensi pers, dia dan gerbong partainya akhirnya memilih “move on”.

Kini, AHY dan partai berlogo mercy itu memilih bergabung di Koalisi Indonesia Maju (KIM), bersama Prabowo Subianto sebagai bacapres-nya.

Dalam sambutan “perpisahannya” dengan KPP, AHY berujar “Saya mengajak seluruh kader Partai Demokrat agar tetap tenang dan berpikir jernih. Kita tidak akan patah oleh ganjaran politik sekeras apa pun. Meskipun kita juga tidak akan berkompromi pada konspirasi politik securang apa pun”.

Inilah plot dramatis dalam episode yang saya beri judul “berpisah dibatas penantian”.

Sinetron tentang KPP ini sebenarnya tidak hanya menampilkan AHY, selaku anak penggede yang di-ghosting Anies dan Partai Nasdem.

Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Yenny Wahid ditemui di kediaman keluarga Gus Dur, Ciganjur, Jakarta Selatan, Minggu (13/8/2023) malam.KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Yenny Wahid ditemui di kediaman keluarga Gus Dur, Ciganjur, Jakarta Selatan, Minggu (13/8/2023) malam.
Ada juga Zannuba Arifah Chafsoh atau kerap disapa Yenny Wahid, anak dari almarhum KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur).

Ramai mengemuka di publik bahwa kubu Anies sempat menginginkan Yenny sebagai calon presidennya.

Munculnya nama Yenny karena KPP menginginkan ada representasi NU dan Jawa Timur, dari seorang pendamping Anies.

Ini tentunya menjadi pilihan strategis bagi KPP untuk menutup kekurangan dukungan Anies dari kelompok dan daerah yang dimaksud.

Ketua DPP Bappilu Partai Nasdem, Effendi Choiri atau Gus Choi, adalah salah satu tokoh yang ngotot memasangkan Anies dengan Yenny.

Hal ini karena keinginannya pasangan yang mereka dukung bisa memperoleh dukungan dari kaum Nahdiyin.

Dukungan yang sama juga datang dari Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera.

Menurut dia, usulan menduetkan Anies-Yenny sangat rasional, karena sebagai tokoh NU, putri Gus Dur itu bisa membantu menambah dukungan elektoral dan sekaligus menjadi efek ekor jas bagi partai pendukung di pemilu legislatif 2024.

Lantas, apakah Anies juga menginginkan Yenny? Memang, tidak ada pernyataan secara terbuka dari Anies tentang hal itu, kecuali bahwa Yenny dan empat kandidat lainnya (AHY, Mahfud, Cak Imin, Khofifah) disebutkan olehnya bahwa mereka masuk dalam pertimbangan.

Namun, dari gesturnya, publik membaca keinginan Anies untuk berpasangan dengan Yenny itu ada.

Meski tidak sedramatis yang dialami AHY, duet Anies-imin tak pelak membuat Yenny sedikit “meradang”.

Dia lantas merespons duet tersebut dengan mendatangi Prabowo untuk menyatakan dukungan.

Dukungan Yenny kepada Prabowo selain karena ketidaksukaannya pada Gus Imin, tentu langkah politik tersebut sangat kental dengan nuansa baper (bawa perasaan), sebab dia tidak terpilih menjadi bacawapres Anies.

Sinetron anak-anak Jokowi

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di Solo, Jawa Tengah, Selasa (19/9/2023).KOMPAS.com/Labib Zamani Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka di Solo, Jawa Tengah, Selasa (19/9/2023).
Pada “stasiun televisi” lain, publik juga tak henti-hentinya disuguhi sinetron terkait tingkah politik anak-anak Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka (Gibran) dan Kaesang Pangarep (Kaesang), yang tentu saja penuh dengan plot twist yang juga menghadirkan drama dan intrik.

Episode bermula dari masuknya nama Gibran dalam bursa calon wakil presiden (bacawapres). Entah siapa yang memulai usulan itu, beredar informasi Prabowo Subianto ingin menjadikan Gibran sebagai pasangan duetnya.

Prabowo pun mendukung uji materi tentang batas usia capres dan cawapres, sebagaimana yang disebutkan pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Menurut Prabowo, sebagaimana dikutip berbagai media, usia mestinya tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk menjadi pemimpin.

Keinginan untuk menduetkan Prabowo dengan Gibran juga diucapkan oleh Wakil Ketua umum Partai Gerindra, Fadli Zon dan Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani.

Meski bukan hanya nama Gibran yang disebutkan karena ada yang lain seperti Muhaimin Iskandar (PKB), Erick Thohir, dan Airlangga Hartarto.

Munculnya nama Gibran dalam bursa cawapres tersebut tak pelak memunculkan pro dan kontra. Ada yang mendukung, tentu saja banyak juga yang menolak.

Suara-suara penolakan terutama berkaitan dengan gugatan terhadap praktik politik dinasti. Masuknya Gibran dalam kandidasi dianggap sebagai upaya Jokowi membangun dinasti politiknya.

Suara-suara tersebut menggema semakin kencang bersamaan dengan tafsiran bahwa uji materi, terutama yang dimohonkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), semata-mata karena untuk memuluskan kepentingan Jokowi menjadikan anaknya menjadi bakal calon RI dua.

Gibran juga mendapatkan kritikan sekaligus dukungan dari internal partainya, PDI Perjuangan.

Kritikan mengemuka terkait dengan adanya keinginan menduetkan dirinya dengan Prabowo, padahal sebagai kader partai, Gibran seharusnya samina wa atonah dengan keputusan partai yang telah mendukung Ganjar Pranowo.

Sedangkan suara dukungan mengemuka dari kader yang setuju Gibran berpasangan dengan Ganjar, bukan Prabowo.

Terbaru, kini muncul intrik dan drama seputar pilihan politik anak bungsi Jokowi, Kaesang Pangarep. Suami dari Erina Gudono ini sedang berada dalam tontonan perihal cerita masuknya dia menjadi anggota PSI.

Kritikan muncul dari anggota dan simpatisan PDI Perjuangan. Hal ini terkait dengan AD/ART PDIP bahwa seorang anggota, seluruh keluarga intinya juga harus masuk PDIP, jika ingin berpolitik.

Kosmetik Politik

Tidak kalah seru dengan drama anak-anak penggede lainnya, kini muncul anak dari “calon penggede”, yakni anak-anak dari para bacapres. Sebagai pembuka, anak-anak para penggede ini mulai muncul dalam berbagai kosmetik politik.

Satu per satu mereka mulai “didandani” oleh pendukung-pendukung bapaknya, dan kemudian diekspose melalui media sosial.

Sebut saja, ada anak bacapres Ganjar Pranowo, yaitu Muhammad Zinedine Alam Ganjar atau disapa Alam.

Sementara Anies Baswedan, dari empat anaknya, salah satu yang kini mendapat sorotan adalah Mikail Azizi Baswedan.

Begitu juga dengan Didit Prabowo, anak Prabowo Subianto.

Secara umum, hari ini, ketiga anak calon penggede tersebut masih berada dalam cerita yang indah, yang mana mereka masih memerankan karakter protogonis.

Mungkin karena yang membuat konten adalah para pendukung dari bapaknya masing-masing, segala hal tentang diri mereka mulai dipersolek agar indah ditonton publik.

Sisi kehidupan mereka berupa pendidikan, prestasi, hobi, mulai muncul dengan narasi yang positif di media sosial.

Alam Ganjar bahkan sedikit lebih maju dalam eksposure ini karena secara eksklusif diundang sebagai tamu program Rosi di Kompas TV.

Berbagai pernyataan dari Alam kini diviralkan dalam bentuk potongan-potongan video. Sampai sejauh ini, sinetron mereka masih menyajikan cerita yang indah bak Drama Korea.

Dalam pandangan penulis, seiring kontestasi pilpres menuju kepastian dalam hal kandidasi, sinteron tentang anak calon penggede itu akan dipenuhi juga dengan drama dan intrik di jalan ceritanya.

Setidaknya akan ada tiga pihak yang memasukan unsur dramatis dan intrik dalam cerita mereka.

Pertama, media media massa. Oleh karena tuntutan mencari berita yang aktual sambil dipoles sebagai bagian dari menjalankan fungsi kontrol sosial, media (baca: pers) akan mulai mengulik cerita-cerita tidak mengenakan dalam perjalanan hidup anak-anak itu.

Perspektif berita bahwa "bad news is good news" kerap diaktualisaikan dalam situasi seperti demikian.

Kedua, pihak yang akan mengubah jalannya cerita yang tadinya indah menjadi penuh intrik dan drama adalah para pendukung bapaknya (bisa kader partai koalisi, relawan, atau simpatisan).

Pengalaman pilpres yang sudah-sudah, masing-masing pendukung akan berupaya mencari kelemahan lawannya. Jika tidak bisa diperoleh dari bapaknya (bacapres), maka pencarian akan diarahkan ke keluarganya.

Sekecil apapun kesalahan yang pernah anak-anak itu perbuat, sangat mungkin dikapitalisasi menjadi kampanye negatif (negative campaign). Bahkan jika tidak ditemukan adanya “cacat” dari anak-anaknya, sangat mungkin tercipta kampanye hitam (black campaign).

Ketiga, pihak yang akan menghadirkan plot twist itu adalah netizen, dengan segala kemahabenaran mereka.

Netizen, entah karena gabut, entah dengan niatan semata dijadikan sebagai konten, sekadar iseng, akun turut larut dalam dramatisasi dan penciptaan intrik-intrik di belakang jalannya cerita anak-anak calon penggede yang ada.

Spectacle

Realitas politik terkait dunia anak-anak penggede (atau calon pengede) hari ini telah menjadi sebuah spectacle (tontonan).

Lantas, dimanakah posisi penononton, dalam hal ini adalah masyarakat pemilik hak suara, menyikapi sinetron anak-anak penggede atau calon penggede tersebut?

Guy Debord (1967), pembuat film dan penulis, dalam bukunya berjudul The Society of The Spectacle, menghadirkan suatu pandangan yang bertujuan mengingatkan penonton (spectactor) terkait realitas spectacle itu.

Menurut Debord, realitas spectacle kerap menghadirkan citra-citra semu. Di balik itu sarat kepentingan kapitalisme.

Apa yang tersaji dari anak-anak penggede bisa saja merupakan bagian dari proyek komodifikasi guna “menipu” masyarakat agar memilih ayahnya atau mendukung aktivitas politik anak-anak itu.

Hal ini karena, dalam pandangan Guy Debord, pandangan masyarakat kerap lebih terfokus pada apa yang direpresentasikan, ketimbang melihat pada apa yang otentik.

Sebagai tontonan, apa yang tersaji bisa saja adalah hasil konstruksi image semata dan bukanlah diri mereka yang “sebenarnya”.

Untuk itu, secara ekstrem Guy Debord mengingatkan kepada spectactor bahwa dunia spectacle kerap mengikis daya kritis hingga menyebabkan kita teralienasi dari diri kita sendiri serta dari realitas sosial.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com