JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia akhirnya membuka pintu rumah bagi para korban eksil 1965 yang sempat terlantar puluhan tahun di luar negeri untuk “pulang”.
Dua hari berturut-turut, rombongan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly melawat ke Amsterdam, Belanda dan Praha, Ceko.
Mahfud dan Yasonna ditemani Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hingga mantan anggota Komisi Nasional (Komnas) HAM Beka Ulung Hapsara.
Mereka berdialog dengan 65 korban eksil 1965 yang tersebar di berbagai negara di Eropa di Amsterdam, Minggu (27/8/2023).
Pada pertemuan itu, Mahfud menjelaskan pihaknya datang ke Amsterdam untuk memulihkan hak konstitusional para eksil.
Tindakan ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu secara non yudisial, tanpa menghentikan proses hukum.
“Ini hanya mendahului (yang yudisial) agar tidak lama lama, ini korbannya habis, itu kita belum memutuskan apa-apa negara ini, karena macet di DPR, macet di pengadilan dan seterusnya,” ujar Mahfud di Amsterdam, sebagaimana dikutip dari Kompas TV.
Mahfud mengatakan, korban eksil 1965 kebanyakan merupakan Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) yang diutus oleh pemerintahan era Soekarno untuk belajar di luar negeri pada akhir dekade 1950 dan awal 1960.
Namun, tragedi 1965 dan pergolakan politik pergantian kekuasaan membuat mereka tidak bisa pulang.
Baca juga: Yasonna Sebut Lima Korban Eksil 1965 Sudah Dapat Fasilitas Keimigrasian
Pada 1966, rezim Soeharto yang baru berdiri melakukan screening kepada para Mahid dan diminta menyatakan sikap setia kepada rezim Soeharto dan mengutuk Orde Lama.
Ratusan pelajar itu tidak lolos, dicap melawan negara, dan paspornya dicabut. Mereka pun terlunta-lunta selama puluhan tahun di negara lain tanpa status kewarganegaraan.
“Itu kita anggap salah kebijakan itu, meskipun pada waktu itu dianggap benar, tapi sesudah kita melakukan reformasi kita koreksi secara total,” tutur Mahfud.
Setelah reformasi dan seiring berjalannya waktu, Komnas HAM menetapkan tragedi 1965 sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu.
Presiden Joko Widodo kemudian berkomitmen memenuhi hak korban, termasuk para eksil dengan membuka pintu bagi mereka untuk pulang ke kampung halaman, setelah puluhan tahun dilarang.
Merealisasikan perintah ini, Menkumham Yasonna H. Laoly menerbitkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-05.GR.01.01 Tahun 2023 tentang Layanan Keimigrasian bagi Korban Peristiwa HAM yang Berat.
Pihaknya memberikan layanan keimigrasian khusus bagi para korban eksil 1965 secara gratis.
“Kita mau memberikan treatment khusus, saya mengeluarkan keputusan menteri secara khusus untuk ini,” kata Yasonna dikutip dari Kompas TV, Senin (28/8/2023).
Baca juga: Mahfud ke Korban Eksil 1965: Anda Tidak Pernah Bersalah ke Negara Ini
Berdasar pada kebijakan itu, eks Mahid yang tersisa di luar negeri kini tidak perlu merogoh uang untuk mengurus visa, izin tinggal, hingga keluar masuk.
Keimigrasian di bawah Kemenkumham bisa memberikan visa Multiple Entry bagi eksil yang ingin ke Indonesia selama lima tahun atau waktu tertentu.
“Bisa datang berkali-kali,” ujar Yasonna.
Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan izin tinggal terbatas (Itas) selama lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut.
Jika telah menjalani hidup di Indonesia dalam kurun waktu tersebut, Itas itu bisa menjadi dasar pengajuan status kewarganegaraan.
Namun, pemerintah Indonesia sampai saat ini belum bisa memberikan status kewarganegaraan ganda karena terbentur undang-undang.
“Kita enggak tahu berapa tahun kedepan atau puluhan ke depan dengan semakin majunya dunia ke depan mungkin bisa saja terjadi,” kata Yasonna.
Dalam Keputusan Menkumham, korban eksil 1965 yang ingin mendapat fasilitas itu harus mendapat rekomendasi dari Menko Polhukam yang menyatakan mereka merupakan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Mereka juga harus melampirkan dokumen perjalanan atau Paspor Kebangsaan.
Jika syarat itu terpenuhi mereka akan mendapat layanan visa, izin tinggal, dan izin masuk kembali secara gratis.
“Untuk masuk, berada, tinggal, dan beraktivitas di wilayah negara Republik Indonesia,” kata Yasonna.
Salah satu korban eksil 1965, Sungkono mengaku menghargai langkah Presiden Joko widodo yang mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ia mengaku sudah 57 tahun ditelantarkan oleh negara setelah paspornya dicabut, buntut tragedi 1965.
“Sudah 57 tahun, mungkin lebih, hal ini sudah ditelantarkan, direkayasa dan dilupakan,” ujar Sungkono.
Meski menilai Jokowi telah berbuat sesuatu untuk kemanusiaan, ia merasa tindakan Jokowi belum selesai.
Ia mempertanyakan kenapa Jokowi sebagai kepala negara belum meminta maaf meski mengakui peristiwa 1965 merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Kalau sudah mengakui dosa sekian besarnya, kok tanpa minta maaf, hanya menyesali?” ujar Sungkono.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.