JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai langkah Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang melakujan penundaan pemeriksaan kasus korupsi terhadap para peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sangat menyesatkan.
Diketahui, Jaksa Agung meminta jajarannya menunda pemeriksaan laporan kasus korupsi terhadap calon presiden (capres) dan wakilnya, calon legislatif (caleg), serta calon kepala daerah dan wakilnya sampai pelaksanaan pemilu selesai.
"Pernyataan Jaksa Agung mengenai penundaan pemeriksaan indikasi tindak pidana korupsi calon Presiden, Wakil Presiden, anggota legislatif, maupun kepala daerah jelang Pemilu tahun 2024 jelas tidak berdasar hukum dan sangat menyesatkan," ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Selasa (22/8/2023).
Menurut Kurnia, peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal adanya penundaan penggusutan kasus karena alasan apapun, terlebih Pemilu.
Baca juga: Jaksa Agung Minta Jajaran Tak Periksa Capres dan Kepala Daerah sampai Pemilu 2024 Selesai
Mestinya Jaksa Agung selaku pimpinan tertinggi lembaga penegak hukum, seharusnya memahami bahwa setiap tingkatan proses hukum memiliki tolak ukur yang jelas.
"Misalnya, jika naik ke tingkat penyidikan, maka penyidik harus memiliki Bukti Permulaan yang Cukup atau minimal dua alat bukti," ujar dia.
Selain itu, Kurnia menyebut instruksi Jaksa Agung tersebut melanggar hak asasi manusia. Apalagi masyarakat tentunya menginginkan wakil rakyat atau kepala daerah terpilih bersih dari praktik korupsi.
Tak hanya itu, ICW juga menyesalkan pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang mendukung pernyataan Jaksa Agung itu.
Baca juga: Jaksa Agung Minta Tunda Periksa Capres dan Caleg hingga Pemilu, Mahfud: Sering Ada Kriminalisasi
Kurnia berpandangan seharusnya Mahfud meluruskan pernyataan itu, bukan malah ikut-ikutan sesat pikir mengenai hal tersebut.
"Ia (Mahfud) menyampaikan tentang potensi kriminalisasi para kandidat dalam Pemilu. Bagi ICW, argumentasi itu kering dan melompat dari permasalahan utama," ucap Kurnia.
Kurnia menjelaskan, jika masalah yang ingin dihindari adalah kriminalisasi terhadap peserta pemilu, maka solusinya adalah meningkatkan profesionalisme penegak hukum.
"Bukan malah menunda prosesnya," tambah Kurnia.
ICW pun menyarankan, Jaksa Agung maupun Menkopolhukam membaca mengenai data korupsi politik yang ada di KPK.
Kurnia menyebut, berdasarkan data yang diperolehnya, sepanjang tahun 2004-2022 ada 1.519 tersangka korupsi.
Dari total 1.519 tersangka, sekitar 521 orang di antaranya berasal dari klaster politik, baik anggota legislatif maupun kepala daerah.
"Mestinya itu dijadikan pemantik oleh aparat penegak hukum untuk semakin giat dan gencar memburu koruptor. Namun yang terjadi malah sebaliknya," tuturnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin meminta jajaran di bidang Intelijen dan Tindak Pidana Khusus untuk hati-hati dan cermat dalam memproses penanganan laporan pengaduan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, serta calon kepala daerah.
Baca juga: Jaksa Agung Minta Jajaran Antisipasi Black Campaign Jelang Pemilu 2024
Hal ini dituangkannya dalam memorandum untuk para jajaran di lingkungan Kejaksaan.
“(Meminta) agar bidang Tindak Pidana Khusus dan bidang Intelijen menunda proses pemeriksaan terhadap pihak sebagaimana dimaksud (capres, caleg, hingga kepala daerah), baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan sejak ditetapkan dalam pencalonan sampai selesainya seluruh rangkaian proses dan tahapan pemilihan," kata Burhanuddin dalam keterangannya, seperti dikutip pada Senin (21/8/2023).
Burhanuddin juga meminta jajarannya mengantisipasi adanya indikasi pelaporan terselubung bersifat kampanye hitam atau black campaign yang dapat menjadi hambatan pemilu.
Respons Mahfud
Langkah Jaksa Agung itu disambut baik oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Menurut Mahfud, setiap pelaksanaan pemilu memang kerap terjadi kriminalisasi terhadap para peserta pemilu.
“Ya memang sejak dulu begitu. Karena seringkali kalau ada pemilu, itu para calon sering dikriminalisasi dengan laporan-laporan yang kemudian sering tidak terbukti. Sehingga dia sudah terlanjur jatuh namanya dan tidak terpilih, bahkan tidak berani mendaftar juga,” kata Mahfud saat ditemui di Hotel Sultan, Jakarta.
Mahfud pun menjelaskan bahwa, yang ditunda adalah proses penyelidikan dan penyidikan terhadap capres, cawapres, caleg, dan calon kepala daerah.
Setelah pemilu, proses penyelidikan dan penyidikan akan berlanjut.
“Tentu saja kalau sudah berjalan kan tidak bisa dikaitkan dengan pemilu. Tapi semuanya tentu akan dibijaki agar hukum itu tidak dipolitisir,” kata eks Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.