Namun lebih pada mewujudkan kebersamaan dan kesejahteraan bersama pada kondisi alami saat ini yang cenderung mengedepankan konsep dan kapitalis pada pendidikan.
Tentang bagaimana pendidikan berkualitas adalah jasa yang harus dibayar oleh seorang individu atau keluarganya untuk mendapatkan layanan tersebut, dan dari proses transaksi tersebut, dilakukan perpindahan kemakmuran, dari suatu individu atau keluarganya pada individu atau kelompok lainnya.
Atau tentang bagaimana pendidikan menekankan konteks ego-sentris, kebanggaan sebagai bagian dari suatu kelompok, entah karena kurikulum, jejaring, rekam jejak masa lalu, atau bentuk kebanggaan kelompok lainnya, termasuk peluang berkembang pada masa depan.
Konteks kapital dan ego tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh para anak terlantar, sehingga potensi yang mereka miliki hampir tidak mungkin berkembang dengan optimal.
Ketika orangtua para anak tersebut lalai atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya, atau memang mereka tidak mau memelihara karena suatu hal, seperti aib keluarga, misalkan, atau memang ada kejadian luar biasa seperti bencana alam atau sosial sehingga anak-anak tidak ada yang memelihara, maka negara perlu hadir.
Bila perlu secara resmi mengelompokkan anak-anak terlantar tersebut sebagai anak-anak negara. Sebutan tersebut lebih untuk memudahkan identifikasi bahwa mereka sepenuhnya dipelihara oleh negara dalam rangka menjalankan amanat UUD Pasal 34 ayat 1 melalui pendidikan, sandang, pangan, dan tempat tinggal yang layak.
Secara regulasi, kewajiban memelihara anak-anak negara sudah tertulis dalam UUD. Namun masih diperlukan sejumlah regulasi turunan seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri terkait, yang dapat menjadi payung hukum bagi keberpihakan APBN dan APBD serta Birokrasi yang handal untuk memelihara anak-anak yang kelak menjadi bagian masa depan Indonesia itu.
Ketersediaan regulasi dan birokrasi untuk jangka panjang adalah kebutuhan dan merupakan peran pemerintah untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar melaksanakan UUD dan benar-benar berpihak pada rakyat kecil.
Pada prinsipnya, instrumen Kartu Indonesia Pintar (KIP) dapat digunakan untuk memelihara anak-anak negara.
Instrumen tersebut memanfaatkan fasilitas sekolah berasarama yang tersebar di berbagai wilayah, dapat menjadi kekuatan untuk memelihara melalui penitipan anak-anak negara pada sekolah-sekolah berasrama (boarding school).
Pemerintah pusat dan daerah dapat mengoptimalkan sekolah-sekolah berasrama yang dimiliki, maupun melalui kerjasama dengan sekolah-sekolah berasrama milik masyarakat, termasuk pesantren.
Penulis membayangkan suatu kondisi bahwa Indonesia menjadi tempat yang peduli, aman dan nyaman bagi setiap anak-anak terlantar.
Bukan tempat di mana mereka dihina dan direndahkan, atau sampai dieksploitasi karena kondisi keadaanya.
Hampir tidak mungkin individu memelihara mereka, karena pada dasarnya setiap orang memiliki kepentingan untuk dirinya dan keluarganya.
Hanya negara yang bisa stabil secara ekonomi dan memiliki kekuatan untuk mengelola seluruh anak-anak negara sebagaimana disebut di atas dengan baik.