Ia mencontohkan, rapat umum partai politik bisa digelar di stadion. Namun, bagaimana jika kampus digunakan untuk rapat umum semacam itu?
"Terbayang di kampus ada rapat umum partai, apalagi kampus negeri, boleh atau tidak? Makanya kita harus bicara ketentuan teknis detailnya," kata Bagja.
Menurut Bagja, hal itu berpotensi bermasalah. Ia menyinggung potensi masalah yang akan muncul jika TK dan SD juga ditafsirkan sebagai lembaga pendidikan yang bisa digunakan sebagai tempat berkampanye.
"Lebih bagus revisi dilakukan terhadap Peraturan KPU (PKPU) supaya jelas di mana saja yang boleh dan metode apa saja yang boleh," kata dia.
Baca juga: Federasi Serikat Guru Indonesia Kritik Putusan MK Izinkan Kampanye di Fasilitas Pendidikan
KPU RI mengaku akan segera merevisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.
Pasalnya, dalam peraturan itu, KPU masih menyadur ketentuan kampanye di dalam Pasal 280 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang melarang kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan tanpa syarat, yang kemudian direvisi MK dalam putusannya.
Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik mengeklaim, KPU akan melibatkan Bawaslu RI dan meminta masukan publik.
Setalah draf revisi rampung, sebagaimana prosedur perbaikan peraturan, KPU akan berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum mengundangkan revisinya.
Idham belum bisa memberi kepastian kapan revisi itu akan dilakukan.
Baca juga: MK Bolehkan Kampanye di Kampus, BEM UI Ngaku Siap Kuliti Capres
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menegaskan bahwa fasilitas pendidikan, sebagaimana tempat ibadah dan fasilitas pemerintah, semestinya steril dari kepentingan politik praktis.
"Larangan penggunaan ketiga jenis sarana tersebut harus bersifat mutlak tanpa syarat. Apabila MK berdalil bahwa tempat ibadah tidak layak digunakan untuk kepentingan kampanye tanpa syarat karena menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila, begitu pun seharusnya dengan tempat pendidikan dan fasilitas pemerintah," ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, dalam keterangannya, Senin (21/8/2023).
Ia menyampaikan bahwa persyaratan "tanpa atribut" dalam berkampanye di fasilitas pendidikan tidak serta-merta menghilangkan relasi kuasa dan uang.
Baca juga: MK Izinkan Kampanye di Sekolah dan Fasilitas Pemerintah, KPU Revisi Aturan
Sebab, dua hal itu bisa saja disalahgunakan oleh institusi pendidikan untuk mengomersialkan panggung politik di dalam tempat pendidikan.
“Kondisi tersebut jelas berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan ke depannya. Apalagi jika yang berkampanye adalah kepala daerah setempat, relasi kuasa ada dan bahkan bisa menggunakan fasilitas sekolah tanpa mengeluarkan biaya," ujar mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu.
Ia juga mempertanyakan makna "fasilitas pendidikan" yang tidak dirinci oleh MK dalam pertimbangan putusannya.