Kekuasaannya sangat besar dan bersifat hegemonik. Namun, kekuasaan itu dipandang bersifat positif, karena lurah dan raja mendapat legitimasi secara adikodrati.
Istilah “lurah” tak asing bagi masyarakat pedesaan Jawa. Sebutan yang dikenakan kepada Jokowi, saya kira, merujuk pada konsep lurah dalam perspektif pedesaan Jawa.
Bukan merujuk pada pengertian lurah dalam tata pemerintahan desa dewasa ini, yang memimpin teritori kelurahan di wilayah kota dan diangkat dari pegawai pemerintah.
Secara administratif, pemimpin teritori desa adalah kepala desa. Namun, sebagian masyarakat desa di pedesaan Jawa, lebih mengakrabi sebutan “lurah” daripada “kades” (kepala desa).
Lurah bukan sembarangan orang. Ia dipilih oleh rakyat. Namun, legitimasinya sejatinya bukan pada keterpilihan oleh rakyat, melainkan legitimasi adikodrati. Warga desa di Jawa menyebut “pulung” atau “ndaru”, semacam wahyu, bisikan langit.
Setiap pemilihan lurah soal “pulung” selalu dibicarakan warga desa. Malam menjelang pemilihan, biasanya ada warga yang sengaja tidak tidur guna melihat siapa yang mendapatkan “pulung”.
Dipercayai, “pulung”, mirip cahaya putih yang jatuh dari langit, akan turun di kediaman calon saat malam menjelang pemilihan.
Seseorang yang terpilih sebagai lurah dianggap mendapatkan “pulung”, yang menandai ada restu dari kekuatan langit (Tuhan). Karena itu, kekuasaannya diidam-idamkan (dituntut) memberikan hal baik, positif, bagi warga desa.
Sifat adil, bijak, melindungi, yang diidam-idamkan dari lurah semata-mata bukan karena dirinya, melainkan kekuatan atau sifat adikodrati. Bila lurah keluar dari sifat yang diidam-idamkan, pertanda “pulung” juga telah meninggalkan dirinya.
Lurah di suatu desa biasanya masih berkerabat dengan lurah sebelumnya. Bahkan, tak jarang lurah yang sedang menjabat adalah putra dari lurah sebelumnya, “lurah dongkol”.
Masyarakat percaya bahwa “pulung” biasanya memilih orang yang masih berhubungan darah (kerabat) dengan lurah-lurah sebelumnya.
Dalam kosmologi Jawa, raja pun dipercayai sebagai seseorang yang memperoleh bisikan langit, sehingga dirinya memiliki kesempurnaan, kesaktian dan kekuatan yang mahabesar untuk menjalankan kekuasaan.
Karena legitimasi adikodrati, kekuasaan selalu dipandang positif. Raja memiliki tugas mulia, yakni menjaga keadaan “tata tentrem kerta raharja” (tertib, tentram, makmur dan bahagia).
Di buku yang sudah tergolong klasik, “Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern” (1986), Fachry Ali melihat prinsip harmoni yang menjadi inti hidup Jawa dengan sendirinya melahirkan gejala pemusatan kekuasaan.
Kekuasaan yang terbagi-bagi atau terpencar-pencar hanya akan menyebabkan ketidakteraturan dan mengundang konflik.