JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Buruh menjadi pihak ke-31 yang mengajukan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang berisi ketentuan ambang batas pencalonan presiden, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatan ini, Partai Buruh mengeklaim akan mengajak bekerja sama 30 penggugat sebelumnya, yang gugatannya mental di tangan majelis hakim.
"Kita minta mereka tak perlu mengajukan permohonan yang sama. Cukup menjadi pihak terkait," ujar pengacara Partai Buruh, Feri Amsari, pada Selasa (1/8/2023).
"Berkelahi dalam isu yang sama, dalam persidangan yang sama, dengan berbagai orang di dalam satu forum di MK," lanjutnya.
Baca juga: Buah Simalakama Presidential Threshold
Feri menyebut bahwa sebagian dari 30 penggugat itu sudah berkomunikasi dengan mereka terkait tawaran untuk menjadi pihak terkait. Sementara itu, beberapa lainnya belum berkomunikasi.
Dari 30 gugatan yang masuk ke MK sejak 2017, sebagian di antaranya adalah unsur partai politik, di antaranya Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, Partai Bulan Bintang, dan Partai Kebangkitan Nusantara.
"Insya Allah kami akan mengundang mereka, yang bersedia, (menjadi pihak terkait)," kata dia.
"Kalau tidak, kami minta Mahkamah menghadirkan mereka sebagai pihak terkait, termasuk yang dari partai politik," ujar Feri.
Baca juga: Partai Buruh: Indonesia Pionir Presidential Threshold di Dunia, Rusia Kalah
Partai Buruh mengaku yakin gugatan mereka terkait ambang batas pencalonan presiden atau yang kerap disalahartikan sebagai presidential threshold bisa dikabulkan MK.
Feri dkk merasa telah menemukan celah agar MK mengadili ketentuan yang selama ini MK anggap sebagai ranah pembentuk kebijakan (open legal policy).
MK dianggap telah berubah pandangan dalam menghadapi pasal open legal policy, tercermin dari putusan mereka memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK, Mei 2023 lalu, yang seharusnya ranah open legal policy.
"Dengan demikian, MK wajib pula menafsirkan apakah Pasal 222 UU Pemilu ini bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Jadi, tidak bisa lagi menghindar dengan alasan open legal policy," kata Feri dalam jumpa pers, Jumat (14/7/2023).
Baca juga: Rasionalitas Pengecualian Presidential Threshold bagi Partai Baru
Contoh teranyar adalah ditolaknya permohonan PKS pada perkara nomor 52/PUU-XX/2022.
Dalam permohonan itu, PKS melampirkan kajian bahwa ambang batas pencalonan presiden seharusnya dibuat dengan basis perhitungan yang lebih cermat dan rasional.
Dalam putusannya, MK mengapresiasi kajian itu namun menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang.
Sementara itu, dari 30 perkara sejenis yang diadili MK dan gugur, Mahkamah juga kerapkali mempermasalahkan kedudukan hukum para pemohon.
Soal kedudukan hukum, Partai Buruh optimistis memenuhi syarat.
Selain sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024, Partai Buruh juga tidak terlibat dalam penyusunan UU Pemilu yang di dalamnya memuat ketentuan "presidential threshold".
Dengan keadaan ini, Partai Buruh yakin MK akan menukik ke substansi permasalahan, yaitu tidak selarasnya ketentuan "presidential threshold" dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Sebab, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa calon presiden-wakil presiden diusung oleh partai politik sebelum pemilu digelar, bukan pemilu sebelumnya.
Bermodal ketentuan itu, Partai Buruh semestinya berhak mencalonkan jagoannya karena sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 sebelum pencalonan presiden.
Baca juga: MK Singgung Pasal Presidential Threshold Sudah Digugat 27 Kali
Namun, lewat ketentuan "presidential threshold", ketentuan itu dimodifikasi sehingga calon presiden-wakil presiden diusung oleh partai politik berdasarkan capaian di pemilu sebelumnya, yakni minimum 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional.
Ini membuat Partai Buruh, juga partai-partai politik pendatang baru dan partai-partai nonparlemen, harus bergabung dengan partai-partai politik penguasa Senayan untuk bisa mengusung calon presidennya.
"Dari 30 (uji materi "presidential threshold" yang gugur) itu nanti kita breakdown, kita perlihatkan ke hakim MK, bahwa alasan Partai Buruh itu berbeda," ujar Feri yang juga ahli hukum tata negara Universitas Andalas.
Sejauh ini, MK selalu menegaskan pendiriannya bahwa presidential threshold dapat memperkuat sistem presidensial yang dianut Indonesia, agar presiden dan wakil presiden terpilih memiliki kesamaan frekuensi dengan suara mayoritas parlemen.
Dalam putusan ke-27, misalnya, yaitu nomor perkara 4/PUU-XXI/2023, Mahkamah menegaskan bahwa mereka masih tetap pada pendirian itu dan belum berubah pikiran.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.