Oleh karenanya, sekali lagi menurut barisan ini, pencapaian-pencapaian fantastis seperti pembangunan infrastruktur dan posisi Indonesia di dalam presidensi internasional perlu dipertahankan.
Namun demikian di sisi lainnya, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa program-program Presiden Jokowi masih memiliki kekurangan di banyak segi sehingga mutlak perlu diperbaiki.
Dampaknya, kelompok politik yang memilih untuk mengusung tema perubahan akan terus menyuarakan perbaikan atau bahkan pergantian kebijakan.
Tulisan ini lantas mendorong agar perdebatan keras antara “keberhasilan” pembangunan infrastuktur, presidensi internasional, atau isu lain sejenis dan “kegagalan” penegakan hukum, kedaulatan ekonomi atau isu lain sejenis itulah yang mestinya diangkat ke permukaan, alih-alih hanya tentang latar belakang kandidat. Programnya, bukan hanya orangnya.
Memang, rekam jejak calon merupakan informasi yang tetap perlu dimiliki oleh calon pemilih. Namun demikian, jika benar bahwa tata kelola pemerintahan kelak masih perlu dihitung dari kualitasnya, maka gagasan kandidatlah yang mestinya diperdengarkan secara lebih bombastis.
Apalagi karena, jika benar wacana programatik dalam momentum kandidasi Capres seperti saat ini bisa dilaksanakan, maka pemilu di Indonesia sebenarnya telah bergerak ke arah lebih menguntungkan.
Sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya, jika nuansa kampanye programatik benar-benar bisa direalisasikan, maka sebagai negara, Indonesia akan memperoleh berbagai benefit.
Lebih jauh, keuntungan-keuntungan tersebut bisa dirasakan oleh semua pihak terkait, baik masyarakat maupun pengambil keputusan politik.
Secara lebih rinci, dari sisi masyarakat, beberapa manfaatnya adalah politik indentitas semakin hari akan mendekati nol dan demokrasi Indonesia bisa segera berubah menjadi lebih substantif. Adapun elaborasinya adalah sebagai berikut.
Pertama, politik identitas yang semakin sering dibenturkan dengan nilai-nilai keragaman Pancasila, akan hilang dengan sendirinya karena kampanye berbasis program secara lekas mengubahnya menjadi barang privat.
Konsekuensinya, identitas tidak lagi menjadi komoditas penting dalam pemilu karena terkekang menjadi urusan pribadi.
Kedua, demokrasi Indonesia yang masih tersandera pada hal-hal prosedural seperti saat ini, akan bergerak ke arah lebih substantif. Pemilih akan langsung mengetahui manfaat esensial dari program-program yang ditawarkan.
Dengan demikian, komunikasi antara kandidat dan pemilih akan dominan berada di tataran esensi, bukan lagi prosedur. Jelas, ini situasi yang akan menguntungkan pemilih.
Selanjutnya, dari sisi penyelenggara urusan-urusan politik, keuntungan juga akan terjadi. Misalnya, pertama, kerjasama para partai politik di Indonesia yang jadi akan lebih substantif karena interseksinya terletak pada program.
Konsekuensi baiknya, penyusunan blok-blok politik bisa dilakukan dengan sedikit programatik alih-alih oportunis.