Angka tersebut meningkat tinggi tahun 2020 menjadi 64.211 perkawinan dini, namun angka perkawinan dini sedikit menurun pada 2022 menjadi 59.709 perkawinan dini (Kompas.com-2/10/2022).
Kepentingan mendesak yang dipertimbangkan oleh pengadilan agama dalam memberikan dispensasi kawin adalah calon pasangan wanita telah hamil duluan, pasangan calon kawin telah berhubungan seksual, calon pasangan kawin sudah saling mencintai, dan perkawinan untuk menghindari zina.
Di antara pertimbangan-pertimbangan tersebut, calon pasangan wanita telah hamil duluan menjadi dasar pertimbangan yang dominan oleh pengadilan.
Fakta ini terlihat dari putusan pengadilan agama di suatu kabupaten di Provinsi Jawa Barat pada 2022, yang mengabulkan 564 permohonan dispensasi kawin. Sebanyak 70 persen permohonan tersebut karena sang perempuan telah hamil duluan.
Ketentuan dispensasi kawin telah digunakan sebagai pintu masuk oleh calon pasangan kawin yang masih di bawah umur untuk melangsungkan perkawinan dini. Hal ini menimbulkan permasalahan baru dalam perkawinan di Indonesia.
Di satu sisi dispensasi kawin merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat. Misalnya, menyelamatkan wanita calon pasangan kawin yang telah hamil duluan.
Namun di sisi lain, dispensasi kawin menimbulkan perkawinan dini (perkawinan anak). Perkawinan dini adalah perkawinan antara calon pasangan atau salah seorang dari calon pasangan kawin belum berusia 19 tahun.
Pemerintah telah dan terus mencegah dan mengatasi perkawinan dini. Namun sejak 2019, upaya pemerintah dihadapkan pada dispensasi kawin di bawah umur yang diizinkan oleh pengadilan.
Dilema ini sulit diatasi. Upaya mencegah perkawinan dini perlu dilakukan, sementara perkawinan dini untuk menyelamatkan calon pasangan wanita hamil juga perlu dilakukan.
Dilema ini tidak bisa dibiarkan, tetapi perlu diatasi karena perkawinan dini telah berdampak pada tingginya angka perceraian, rendahnya kualitas hidup Bangsa Indonesia. Bahkan menimbulkan kematian pada bayi atau ibunya akibat belum siapnya alat reproduksi wanita.
Solusi dilema tersebut memerlukan peran pengadilan, pemerintah, dan masyarakat. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019, pengadilan agama berwenang mengadili permohonan dispensasi kawin dengan mempertimbangkan aspek perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak.
Hakim pengadilan menilai apakah permohonan dispensasi kawin dengan alasan calon pasangan wanita telah hamil duluan, calon pasangan sudah melakukan hubungan seksual, calon pasangan sudah saling mencintai, atau kekhawatiran berbuat zina sebagai bentuk memberi perlindungan dan kepentingan terbaik anak, menjamin hak hidup dan tumbuh kembangnya anak, serta memberi penghargaan atas harkat dan martabat anak?
Jika dinilai memberi perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak, maka pengadilan agama mengabulkan permohonan dispensasi kawin.
Sebaliknya, jika dinilai tidak memberikan perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak, maka pengadilan agama menolak permohonan dispensasi kawin.
Pertimbangan tersebut sangat penting sebagai wujud kehati-hatian hakim pengadilan agama, untuk menghindari oknum calon pasangan kawin yang sengaja menyalahgunakan dispensasi kawin.