Namun, kondisi yang ada terkadang tidak selalu sesuai dengan harapan karena beberapa batasan seperti umur, pendidikan, dan kemampuan bersaing dalam proses seleksi.
Akhirnya tuntutan akan bermuara kepada pemerintah yang dianggap membiarkan semua proses ketidakadilan di dalam sistem kepegawaian terjadi pada mereka.
Kekurangan tenaga di dalam instansi pemerintahan yang kosong dari tahun ketahun memang tak bisa ditutupi dengan cepat oleh pemerintah karena keterbatasan anggaran.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara pada 31 Desember 2021, tercatat jumlah ASN berstatus aktif adalah 3.995.634 orang dan PPPK sebanyak 50.553 orang.
Di balik itu, data belanja pegawai pusat dan daerah provinsi tak termasuk kabupaten/kota justru meningkat. Ini menjadi fakta yang aneh.
Apakah ada pola distribusi anggaran yang tidak merata pada sistem belanja kepegawaian kita?
Namun fakta itu bisa menjelaskan bahwa naiknya belanja pegawai tanpa disertai dengan bertambahnya jumlah tenaga kepegawaian patut menjadi kajian tersendiri.
Apakah alokasi itu masuk ke dalam porsi para tenaga honorer yang statusnya masih dianggap sebagai pelengkap dalam kerja-kerja layanan pemerintahan?
Pengelolaan kepegawaian tanpa memperhatikan jumlah dapat berpotensi menimbulkan disparitas antara rasio penduduk dengan rasio kepegawaian yang semakin menjauh.
Saat ini, Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di pusat dan daerah masih bingung mana yang harus didahulukan antara penguatan kualitas atau menambah jumlah ASN/PPPK ketika menjalankan birokrasi dan pelayanan publik.
JIka berpandangan jumlah, maka perlu didahulukan karena masih banyak posisi kosong yang belum diisi oleh pegawai dan harus diisi untuk mendukung kerja birokrasi dan layanan publik.
Sedangkan, mereka yang berpandangan bahwa kualitas perlu didahulukan karena menganggap porsi ASN terlalu besar dalam birokrasi sehingga tidak efisien dari segi jumlah maupun anggaran.
Kondisi ini menjadi sumber masalah yang semakin membingungkan, seperti kasus masih adanya tenaga honorer yang semestinya diangkat pada 2015, tapi nyatanya mereka masih berstatus tenaga honorer.
Mereka masih menanti harapan diangkat oleh pemerintah setelah sekian lama berharap dan mengabdi di pemerintahan.
Kini para tenaga honorer dihadapkan pada masalah baru. Meskipun sejatinya mereka telah menyadari segala konsekuensi sebagai tenaga honorer, namun dengan pengabdiannya yang besar layaknya pegawai biasa, mereka tetap berharap banyak pada "kebaikan hati " pemerintah.
Dengan diterbitkannya Surat Menpan RB Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022 tanggal 31 Mei 2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka PPK di masing-masing instansi pusat maupun daerah harus segera berbenah atau dibenahi.
Pertama, melakukan pemetaan bagi pegawai non ASN. Bagi yang memenuhi syarat diikutsertakan/diberikan kesempatan mengikuti seleksi ASN/PPPK.
Kedua, menghapuskan jenis kepegawaian selain ASN dan PPPK dan tidak diperkenankan melakukan perekrutan non-ASN (dibatasi sampai tahun 2023).
Ketiga, opsi outsourcing bagi jenis tenaga pendukung lain.
Keempat, menyusun langkah strategis penyelesaian kepegawaian non-ASN yang tidak memenuhi syarat.
Kelima, konsekuensi sanksi bagi PPK yang tidak mengindahkan aturan tersebut.
Tentu saja terbitnya surat Menpan itu tidak saja menjadi semacam ultimatum, tapi juga "ancaman" bagi harapan mereka selama ini berharap pemerintah akan mengakomodasi nasibnya menjadi lebih jelas.
Meskipun opsi seperti PPPK Paruh waktu kini diterbitkan, namun tetap saja menjadi sinyal akan hilangnya harapan menjadi ASN seperti sebelumnya.