JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena menyayangkan narasi para organisasi profesi (OP) yang mengaku tidak diundang dan diajak berdiskusi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang saat ini telah menjadi Undang-Undang.
Pasalnya saat pembahasan, ia sudah mengundang para organisasi profesi tersebut.
"Cuma kan ini kan selalu disebar bahwa tidak pernah diundang, tidak pernah didengarkan, jadi karena saya kenal baik dengan semua pimpinan OP-OP ini, saya merasa sayang saja, kalau saya cerita saya buka aib orang," kata Melki dalam diskusi daring di Jakarta, Senin (17/7/2023).
Melki juga mengungkap undangan tidak hanya diberikan satu kali. Ia mencatat, DPR RI mengundang organisasi profesi hingga beberapa kali.
Termasuk, kata dia, saat RUU Kesehatan masih berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Baca juga: Menakar Omnibus Law UU Kesehatan: Tak Sekadar Kontroversi Demo Nakes
"Karena ini inisiatif DPR RI, DPR RI yang membuat ini, itu dibahas pertama kali di Baleg, kemudian sampai awal Februari diputuskan, bulan April kemudian diputuskan untuk dibahas lagi di komisi IX," ucap Melki.
"Jadi di baleg sudah diundang, teman-teman ini yang mengatakan tidak diundang, ini sudah diundang di Baleg. Di kami pun sudah diundang, 2 kali malah," imbuh Melki.
Melki menuturkan, pihaknya menelaah kembali semua aspirasi yang masuk. Dengan begitu, tidak semua aspirasi atau kemauan pihak-pihak tertentu dimasukkan ke dalam UU.
Salah satunya, keinginan agar organisasi profesi di bidang kedokteran cukup satu saja. Hal ini tidak sesuai hak berserikat dan berkumpul dalam UUD 1945.
Baca juga: UU Kesehatan Ramah Dokter Diaspora, Kemenkes: Pulang Dong, Kita Butuh Anda Semua...
"Saya kasih ilustrasi, itu dari 10 yang disampaikan, 7 masih dalam norma UU, 3 itu tidak. Nah yang tiga ini kebetulan salah satunya menyangkut maunya OP cuma satu. Itu kan hak berserikat berkumpul kan, kembali ke UUD 1945," ujar Melki.
Sebagai informasi, DPR RI telah mengesahkan UU Kesehatan pada Selasa (11/7/2023).
Pengesahan itu diwarnai dengan aksi unjuk rasa organisasi profesi di depan kompleks parlemen di wilayah Senayan, Jakarta Pusat tersebut.
Lima organisasi profesi pun berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka merasa bahwa usulan dan masukannya tidak terakomodasi, sehingga UU Kesehatan belum memenuhi unsur partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUUXVII2020, partisipasi publik bermakna tak sebatas pada pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard).
Namun, sejauh mana pemerintah dapat mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered).
Jika pemerintah belum setuju atau tidak setuju atas pendapat yang disampaikan masyarakat, maka warga negara berhak untuk mendengar alasan atau pertimbangan ketidaksetujuan tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.