Pasal-pasal ini hampir seluruhnya terkait dengan eksistensi Bakamla, atau berkenaan dengan topik keamanan maritime (maritime security).
Dengan revisi ini, parlemen ingin memperkuat lembaga dimaksud dalam bidang tersebut dan pada saat bersamaan menjadikannya sebagai penjaga laut atau coast guard Indonesia.
Masalahnya, menjadikan Bakamla sebagai coast guard bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Demikian pendapat para ahli hukum (maritim/pelayaran).
Salah satunya Soleman B. Pontoh. Menurut dia, dalam aturan tersebut, eksistensi coast guard dapat ditemui pada paragraf 14.
Lengkapnya: “Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam undang-undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (sea and coast guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh menteri. penjaga laut dan pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan laut dan pantai tersebut merupakan pemberdayaan badan koordinasi keamanan laut dan perkuatan kesatuan penjagaan laut dan pantai. Diharapkan dengan pengaturan ini penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dapat dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut yang dapat mengurangi citra Indonesia dalam pergaulan antarbangsa.”
Artinya, bila hendak membentuk coast guard, maka harus menggunakan UU 17/2008 tentang Pelayaran. Dan, tata cara pembentukannya pun sudah diatur dengan jelas (pasal 281).
Sekali lagi, revisi UU 32 Tahun 2014 tentang Kelautan sah-sah saja. Namun, patut dicatat langkah itu dapat mengakibatkan hal-hal berikut ini.
Revisi akan sia-sia belaka karena tidak dapat mengubah apapun. Ia tidak berpengaruh kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan karena itu instansi ini dapat mengabaikan apapun keputusan dari revisi yang dilakukan.
Pelaksana UU 32/2014 adalah Menteri Kelautan dan Perikanan sehingga dia tidak mungkin mengatur keselamatan dan keamanan pelayaran serta keselamatan dan keamanan di laut.
Selanjutnya, revisi dapat menimbulkan situasi ketidakpastian hukum di laut sehingga biaya asuransi angkutan laut akan jadi tinggi.
Perusahaan pelayaran akan menjadi korban penegakan hukum yang tidak sah di mana nakhoda akan selalu jadi tahanan.
Revisi UU 32/2014 melanggar asas-asas hukum sehingga mudah di-judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan situasi di Laut China Selatan, revisi UU Kelautan No 32/2014 tidak akan banyak menimbulkan dampak.
Sekali lagi, keberadaan Bakamla dan kewenangannya tidak akan banyak berubah. Last but not least, harga barang akan menjadi mahal.
Singkat cerita, ada dua kubu di tengah masyarakat menyikapi isu pendirian coast guard Indonesia: kubu pro peleburan instansi-instansi yang sudah ada ke dalam Bakamla dan yang kontra terhadap gagasan itu.