MUDIK menjadi hal rutin terjadi di negeri kita. Setidaknya ada 242 juta pergerakan orang saat mudik Lebaran 2024. Angka ini berdasarkan data dari operator telekomunikasi.
Angka tersebut melampaui data survei awal Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kemenhub, potensi pergerakan masyarakat selama Lebaran 2024 mencapai 193 juta orang.
Namun, benarkah ada sebanyak itu yang mudik? Ataukah, perlu ada pendefinisian ulang arti mudik mengingat dampaknya pada pembagian tanggung jawab?
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia. Sehingga, jika kita ingin melihat penanganan mudik di negara lain, hanya ada tiga negara di atas kita yang harus jadi pembelajaran serius, yakni China, India, dan Amerika.
China dengan fenomena mudik di masa Imlek, India di masa Diwali, dan Amerika di masa Thanksgiving.
Jadi, mudik di Indonesia adalah mudik terbesar nomor 4 dari sisi jumlah penduduk.
Pertanyaannya, apakah kita semua akan melakukan mudik? Ini yang jadi soal dalam mengartikan mudik.
Jika mudik diartikan pulang kampung, maka memang mayoritas warga kita melakukan pulang kampung. Walaupun kampung asalnya ada di sebelah kampung bermukim.
Presiden Jokowi pernah mengajak kita mendefinisikan ulang hal ini. Namun, saya ingin mengurangi pemaknaan mudik supaya tidak terlalu terkesan berlebihan dari sisi beban penanganannya.
Jika mudik adalah pulang kampung, “mulih ndisik”, ke udik, atau apapun istilahnya, soal ini bisa jadi berdampak macam-macam dari sisi teknis penanganannya.
Supaya penanganan mudik menjadi fokus, mungkin kita bisa tambahkan bahwa mudik adalah perjalanan yang ditempuh di atas 50 Km, misalnya. Sebab ini membawa konsekuensi pada fokus penanganan transportasinya. Variabel lain bisa ditambahkan dan didiskursuskan.
Itulah sebabnya, tanpa disadari, pada masa mudik, concern kita ada di jalan tol, penyeberangan, bandara, stasiun, dan jalan raya nasional. Secara tidak langsung kebijakan penanganan ini dilakukan terhadap pergerakan mudik lebih dari 50 kilometer.
Jika kurang dari itu, maka menjadi bagian dari rekayasa lalu lintas lokal yang menjadi tanggung jawab daerah masing-masing.
Ada satu hal lagi yang perlu penyempurnaan di SOP mudik, yaitu soal "batasan penanganan dan penanggung jawab". Sehingga soal mudik dalam artian tadi memang benar-benar hanya dipersiapkan dan dimatangkan setiap setahun sekali.
Namun, untuk yang mudik dalam pergerakan kurang 50 Km, menjadi domain daerah dan mereka harus merapikan traffic management-nya sepanjang waktu karena merupakan bagian dari rekayasa traffic lokal dan hal yang rutin.