JADWAL dan tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah ditetapkan. Termasuk untuk pencalonan anggota DPD (6 Desember 2022 - 25 November 2023), pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota (24 April 2023 - 25 November 2023), serta Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (19 Oktober 2023 - 25 November 2023).
Semua ini menandakan bahwa rakyat Indonesia punya kesibukan memilih pemimpin. Dalam dinamika politik, kesibukan ini menjadi momen krusial yang memengaruhi arah dan nasib Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bila kita (para pemilih) dalam kesibukan proses memilih pemimpin ini mudah terbuai dan salah kaprah dengan menelan bulat-bulat janji-janji politik: maka kita pun bisa terjebak dalam politik identitas, serta tersulut emosi yang mengaburkan penilaian objektif.
Sehingga pemimpin yang dipilih bukan berdasarkan kualitas kepemimpinan dan karakter etis. Karuan saja dari profil yang dipilih ini sangat mungkin abai terdeteksi dini kualifikasi moral dan etika pemerintahan.
Sehingga perjalanan menuju pemerintahan yang dapat dipercaya dan jujur –jalannya pun bisa sempoyongan, oleng, bahkan ugal-ugalan.
Di mana tujuan utama dalam menciptakan pemerintahan yang adil, transparan, dan beradab, hanya menjadi kisah fiksi dalam cerita kampanye politik saja. Pilar-pilar kualifikasi moral pun menjadi fondasi yang semakin keropos.
Bukan sampai perkara itu saja, pemimpin yang dipilih bukan berdasarkan kualitas kepemimpinan dan karakter etis bisa membuat ketidakadilan mengintai sambil meringis, sehingga pada titik ini etika dikorbankan.
Apa yang dimaksud bahwa pemerintah adalah garda terdepan dari harapan rakyat, bukan lagi semacam bulan yang menerangi gelap. Sebab, kebohongan dan kepalsuan bersemayam, membuat korupsi demikian membahana.
Etika pemerintahan, yang semula adalah simbol- simbol kehormatan, pun teranulir menjadi kisah-kisah yang gelap dan penuh penggelapan.
Dari sini betapa ironis kejahatan bisa berdiri tanpa malu-malu tersenyum tipis, lantas mengguncang keadilan, dan mencabik- cabik nasib rakyat. Maka bangsa pun terperangkap dalam sejarah abadi yang kehilangan etika pemerintahan, kehilangan hati nurani.
Kehilangan etika pemerintahan berdampak negatif pada integritas, penyalahgunaan kekuasaan, akuntabilitas, dan kepercayaan publik secara keseluruhan.
Dengan demikian, hilang pula integritas di antara pemimpin dan pejabat pemerintahan. Hal ini karuan saja mengganggu konsistensi, mengganggu kejujuran, dan mengganggu komitmen terhadap nilai-nilai moral.
Kelanjutannya, penyalahgunaan kekuasaan di mana pemimpin yang tidak etis menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Padahal etika pemerintahan yang kuat membutuhkan akuntabilitas, namun kehilangan etika pemerintahan seringkali berarti hilangnya akuntabilitas dalam pengambilan keputusan dan tindakan pemerintah.
Apa yang bernama kualifikasi moral terdiri dari seperangkat aturan –dengan prinsip yang melandasi moralitas individu dan kolektif, bukan lagi faktor signifikan kebijakan.