Kinerja APBN per April 2023 juga terjaga positif. Ini ditandai dengan surplus APBN sebesar Rp 234,7 triliun atau 1,12 persen dari produk domestik bruto (PDB), serta penerimaan negara mencapai Rp 1.000,05 triliun atau 40,6 persen dari APBN atau tumbuh 17,3 persen dari periode tahun sebelumnya.
Baca juga: Jokowi: APBN 2023 Fokus untuk Prioritas Nasional, Termasuk Pemilu
Kemudian, belanja negara tumbuh sebesar Rp 765,8 triliun atau 25 persen dari total belanja 2023 atau naik 2 persen daripada 2022.
“Capaian itu merupakan salah satu prestasi yang mampu dicatatkan pemerintah dan kita patut mengapresiasinya. Hal tersebut juga menjadi bukti bahwa jika kita bersungguh-sungguh dan bekerja keras, serta mampu mengelola risiko dengan baik, kita mampu melampaui target capaian yang telah ditetapkan, meski kondisi ekonomi politik global masih belum ideal,” terangnya.
Meski begitu, ia mengingatkan pemerintah agar tidak terlena dan overoptimistic. Ini mengingat, 2023 masih panjang sehingga tidak tertutup kemungkinan turbulensi ekonomi baru yang dapat memengaruhi APBN 2023 dapat terjadi.
Selain itu, upaya lebih keras juga diperlukan untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi pada 2024. Ini mengingat, risiko ekonomi global juga kian meningkat akibat pergolakan dinamika geopolitik.
Maka dari itu, pemerintah perlu menyiapkan mitigasi yang jelas dan akurat serta langkah-langkah strategis yang terukur dalam menghadapi berbagai potensi risiko.
Di tengah kisruh perpajakan nasional, Muhidin tetap optimistis bahwa instrumen pendapatan negara tersebut dapat meningkat secara baik pada 2024. Hal serupa juga diharapkan terjadi pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, pemerintah perlu melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi, serta mendorong penciptaan kondisi yang kondusif bagi sektor industri. Dengan begitu, penambahan nilai pajak dari pelaku industri dapat tercipta.
Terkait intensifikasi, pemerintah juga harus mampu menambah jumlah wajib pajak yang selama ini belum terdata. Dengan mengombinasikan kedua langkah tersebut, rasio pajak nasional akan semakin meningkat dan bisa menembus angka 12 persen dari PDB.
Hampir setiap TA APBN mengalami defisit. Muhidin menilai bahwa hal ini sebenarnya lumrah karena APBN merupakan alat keuangan negara yang didesain fleksibel. Selisih anggaran mutlak terjadi, tetapi hal ini menunjukkan fleksibilitas kebijakan keuangan negara.
Selain itu, defisit APBN tidak sepenuhnya mengartikan pemerintah tidak mampu mengelola keuangannya. Muhidin menjelaskan bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat prioritasnya berubah demi menjaga perekonomian dan hidup masyarakat.
Pada 2022, defisit APBN mencapai 2,38 persen dari target 4,5 persen. Ini berarti, konsolidasi fiskal lebih cepat dan sangat baik. Sementara pada 2023, defisitnya diharapkan bisa di bawah 3 persen lagi.
Baca juga: Sri Mulyani: APBN Defisit Rp 237,7 Triliun hingga Pertengahan Desember 2022
Muhidin menuturkan, untuk mewujudkan fiskal yang kuat dan bijak, batas defisit APBN tetap diperlukan. Namun, pengalihannya harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi budgeting dan monitoring, Banggar DPR memiliki mekanisme untuk mewujudkan tujuan tersebut tercapai.
“Bagi kami, hal utama bukan sekadar mengurangi defisit APBN, tapi juga bagaimana belanja dan pengeluaran pemerintah efektif dalam mendorong kesejahteraan masyarakat secara luas. Defisit memang harus dijaga tetap aman di bawah 3 persen, tapi dalam waktu bersamaan langkah spending better harus terus ditingkatkan,” jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.