PROSES pembelajaran Pancasila menjadi laku hidup sangatlah penting diwujudkan, guna menjembatani antara kebutuhan idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan.
Pancasila dimulai dari sila yang anggapannya abstrak dan berakhir dengan keinginan yang konkret.
Masalahnya, apabila kita gagal mewujudkan yang konkret, banyak kepentingan yang akan menguatkan anggapan abstrak tersebut menjadi mekanisme pelemahan posisi Pancasila atau kita sebut di sini sebagai “salah didik”.
Terjadinya “salah didik” hari ini, bisa ditunjukkan melalui berbagai fenomena. Sebagai contoh, bagaimana bentuk arah komitmen dan konsistensi negara mengelola Pendidikan Pancasila bagi warga negara. Baik melalui pendidikan formal, nonformal, hingga informal sekalipun.
Dimulai sejak 1965 hingga 2022, Pendidikan Pancasila, ibarat air di daun talas, terombang-ambing tak menentu, seperti kehilangan arah dan tujuannya.
Celakanya, didukung oleh UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berlaku saat ini, Pendidikan Pancasila tidak tercantum sebagai muatan maupun mata pelajaran wajib pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Meski dengan kebijakan lain kembali diajarkan.
Saat ini upaya inovasi pembelajaran dalam penguatan karakter Pancasila telah banyak dikembangkan, namun perlu juga dihindari gemar melakukan inovasi baru, tapi tak bertenaga dalam implementasi dan praktik karakter Pancasila.
Kiranya perlu untuk menggerakkan berbagai elemen tripusat pendidikan guna menciptakan lingkungan yang mendukung upaya penguatan nilai-nilai Pancasila.
Kebutuhan kolaborasi dan sinergi di antara berbagai elemen pendidikan, baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat, perlu diperkuat.
Selain persoalan kebijakan, pembelajaran Pancasila di pendidikan formal kadang terkendala faktor metodologis, ideologis, bahkan administratif.
Pada satu sisi disampaikan terlampau akademis, diajarkan hanya sebagai fakta pengetahuan, dan pada sisi lain terlewat ideologis dengan menekankan doktrin atas nilai-nilai.
Belum lagi di bawah pengaruh belenggu administratif yang semakin mengaburkan keseluruhan metodologinya.
Jika bertahan seperti ini, pembelajaran Pancasila berpotensi mengalami disorientasi karena ada reduksi dan kesenjangan substansinya. Kehilangan generasi akibat “salah didik” ini harus segera dihentikan.
Kenyataan ini turut didukung oleh beberapa fakta yang terjadi. Sebagai contoh, munculnya survei yang juga dirilis tahun 2023, oleh Setara Institute dan Forum on Indonesian Development (INFID).
Hasil survei, sebanyak 83,3 persen siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) menganggap Pancasila bukan ideologi permanen dan bisa diganti.