JAKARTA, KOMPAS.com - Nama Kelompok Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah 9 (NII KW 9) kembali muncul ke permukaan setelah kontroversi kembali menerpa Pondok Pesantren Al Zaytun di Indramayu, Jawa Barat.
Di sisi lain, polemik tentang keberadaan kelompok NII KW 9 sudah berlangsung lama, tetapi sampai saat ini belum ada tindakan tegas dari pemerintah.
Kelompok NII diduga merupakan kelanjutan dari gerakan yang digagas Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, yakni mendirikan Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.
Setelah Kartosuwiryo tertangkap dan dieksekusi pada 1962, gerakan itu pecah menjadi 2 kelompok.
Pertama adalah NII Fillah yang merapat kepada rezim Orde Baru dan dibina oleh tokoh intelijen Ali Moertopo.
Baca juga: Komnas HAM Minta Dugaan Pelanggaran Al Zaytun Diselesaikan Lewat Jalur Hukum
Kelompok NII Fillah digunakan oleh Orde Baru untuk melakukan kampanye anti-komunisme dan merebut suara umat Islam buat mendukung pemerintah dalam setiap pemilihan umum.
Sedangkan kelompok NII Sabilillah masih berupaya melanjutkan pemikiran Kartosuwiryo dengan mengupayakan mendirikan negara Islam.
Kelompok NII Sabilillah kemudian berkembang menjadi 9 faksi atau komandemen wilayah (KW) yang Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Lampung, dan Jakarta.
Di antara faksi NII Sabilillah, faksi NII KW9 yang dipimpin Panji Gumilang disebut menyimpang jauh dari misi dan falsafah awal gerakan NII. Kelompok itu disebut-sebut bergerak di bawah tanah.
Kelompok itu disebut memperbolehkan anggota tidak salat, serta melakukan hal yang dilarang agama dengan membayar sejumlah uang sebagai hukuman pengganti.
Baca juga: Moeldoko Ungkap Saat Kunjungi Ponpes Al Zaytun Nilai Kebangsaan dan Pancasila Selalu Dibicarakan
Bahkan orang-orang yang terpapar doktrin NII KW9 disebut-sebut diperbolehkan melawan orang tua, mencuri, atau pun meninggalkan salat.
Tak hanya itu, para anggotanya pun diwajibkan membayar iuran bulanan dalam jumlah ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Akibatnya, tak jarang para anggota yang kebanyakan mahasiswa, harus berutang ke sana ke mari atau bahkan mencuri demi tuntutan membayar iuran itu.
Doktrin itu juga diyakini merusak ikatan kekeluargaan dan sosial kemasyarakatan antara sesama umat Islam.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Bidang Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ichsan Abdullah menyatakan, Pondok Pesantren Al Zaytun terafiliasi gerakan Negara Islam Indonesia (NII).
Kesimpulan ini sudah disampaikan MUI pada 11 tahun lalu dalam laporan hasil penelitian yang dilakukan di tahun 2002.
"Hasil penelitian MUI sudah jelas bahwa itu (Al Zaytun) terindikasi atau terafiliasi dengan gerakan NII. Sudah sangat jelas," ujar Ichsan saat ditemui di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Rabu (21/6/2023).
Ichsan mengatakan, afiliasi tersebut bisa dilihat dari pola rekrutmen yang dilakukan Al Zaytun dari segi penghimpunan dan penarikan dana yang dilakukan ke anggota dan masyarakat.
"Tidak terbantahkan, artinya penelitian MUI tahun 2002 itu sangat valid, dia (Al Zaytun) adalah penyimpangan dalam paham keagamaan, kemudian dari paham kenegaraan dia terafiliasi dengan gerakan NII," tutur dia.
Baca juga: Bantah Jadi Beking Al Zaytun, Moeldoko: Emang Preman?
Ichsan juga menilai, pemerintah wajib mengambil andil terkait penyimpangan paham kenegaraan Al Zaytun.
"Maka pemerintah dan MUI sangat ideal dalam rangka membenahi kembali Al Zaytun agar tidak lagi terpapar sebagai bibit radikal yang menjadi bom waktu bagi negara nanti," ujar Ichsan.
Polemik tentang kelompok NII KW 9 sempat menjadi sorotan pada 2011 silam.
Saat itu sejumlah orang yang mengaku mantan aktivis NII buka suara mengenai dugaan penyimpangan yang dilakukan kelompok itu.
Bahkan para mantan aktivis itu mendirikan NII Crisis Center untuk membantu orang-orang yang terjerat keluar dari lingkaran NII.
Seperti dikutip dari surat kabar Kompas edisi 6 Mei 2011, Ketua Tim Investigasi Pusat Krisis Negara Islam Indonesia (NII Crisis Center) Johny Cahyono sempat berharap pemerintah mengambil langkah tegas terkait kelompok itu.
"Kemauan politik dari pemerintah untuk membubarkan NII dan perangkat NII yang ada selama ini," katanya.
Baca juga: Moeldoko Akui Dua Kali ke Ponpes Al Zaytun, Diundang Beri Ceramah Kebangsaan
Menurut Johny, polemik NII sudah menjadi persoalan bangsa, bukan hanya persoalan umat Islam.
"Ini menjadi tanggung jawab negara. Mengapa dibiarkan?" ujar Johny.
Selama ini, kata dia, penegak hukum ibarat kehilangan akal untuk memberantas gerakan NII. Padahal, korban sudah banyak yang berjatuhan.
Memang ada hambatan hukum untuk memberantas gerakan NII. Namun, bagi Johny, persoalan hukum bukan menjadi masalah yang sulit.
"Kalau ada kemauan politik, tidaklah sulit," ucap Johny.
Baca juga: Polemik Ponpes Al Zaytun Masih Didalami, Jokowi Minta Publik Sabar
Johny mengatakan, kalau pemerintah memiliki kemauan politik untuk mengatasi masalah NII yang menjadi ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membubarkan NII dan perangkat NII.
Jika tidak dibubarkan, lanjut Johny, gerakan NII akan bergulir seperti bola api. Kondisi itu tentu akan menjadi ladang subur perpecahan atau konflik warga.
Korban jaringan NII yang lain, Sukanto, yang juga Ketua Tim Rehabilitasi NII Crisis Center, mengakui, secara ideologi, anggota NII diajak untuk bersikap anti-NKRI.
"NKRI bertentangan dengan NII. Bagi anggota NII, negara seperti ini tidak bisa berubah. Oleh karena itu, orang harus hijrah menjadi anggota NII," ujarnya.
Baca juga: Kabareskrim: Dugaan Penistaan Agama di Ponpes Al Zaytun Akan Didalami
Setelah menjadi anggota NII, seseorang pun mendapat tugas pokok, yaitu mencari dana dan merekrut anggota baru.
Ibarat sel kanker, jaringan sel akan terus bertambah. Kapitalisasi dana pun dari korban menjadi sulit dihitung.
Sebagai gambaran, kata Sukanto, uang dikumpulkan dari tingkat kepala desa, camat, bupati, sampai provinsi. Untuk wilayah Jakarta, uang yang bisa dikumpulkan mencapai Rp 10 miliar per bulan.
Persoalan NII tentu tidak hanya terkait dengan korban yang mengalami "cuci otak" dan uang mereka yang hilang atau dipakai petinggi NII. Persoalan NII juga terkait dengan ancaman terhadap keamanan negara.
Baca juga: Daftar Pejabat yang Pernah Sambangi Ponpes Al Zaytun
Menanggapi polemik itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan, ada tiga permasalahan yang diduga dilakukan oleh Ponpes Al Zaytun.
Ketiga masalah itu meliputi tindak pidana, administrasi, serta ketertiban sosial dan keamanan.
"Dugaan kuat telah terjadinya tiga masalah," kata Mahfud dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Sabtu (24/6/2023).
Mahfud menjelaskan, pemerintah akan menindaklanjutinya dengan tiga langkah penyelesaian.
Pertama, terkait masalah tindak pidana, Mahfud mengatakan, Polri akan menanganinya.
Baca juga: Jokowi Bantah Istana Beri Beking untuk Ponpes Al Zaytun
Adapun Kemenko Polhukam dan Polri telah menerima sejumlah laporan terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan Ponpes Al-Zaytun.
Namun demikian, Mahfud belum mau menyampaikan dugaan tindak pidana apa yang dilakukan Ponpes Al-Zaytun.
"Pasal-pasal apa yang nanti akan menjadi dasar untuk melanjutkan proses pidana nanti akan diumumkan pada waktunya, tapi Polri akan mengambil tindakan karena dari semua pintu yang masuk laporan, pelanggaran pidananya, dugaannya sudah sangat jelas dan unsur-unsurnya, sudah diidentifikasi tinggal di klarifikasi nanti di dalam pemanggilan atau pemeriksaan," kata Mahfud.
Permasalahan kedua, terkait adminitrasi ponpes yang dipimpin Panji Gumilang itu. Ia mengatakan, dugaan pelanggaran ini akan ditindak dengan pemberian sanksi administrasi oleh pihak Kementerian Agama.
Baca juga: Babak Baru Kontroversi Ponpes Al-Zaytun: Mahfud Sebut 3 Langkah Penyelesaian, Polri Turun Tangan
"Yang kedua, ini tindakan hukum administrasi terhadap yayasan pendidikan Islam yang mengelola Pesantren Al-Zaytun dan sekolah-sekolah madrasah yang dikelola oleh Kementerian Agama," ucap Mahfud.
Mahfud menambahkan, tindakan administrasi tersebut akan dilakukan dengan tetap menekankan pada pentingnya memberi perlindungan terhadap hak para santri dan murid yang belajar di ponpes itu.
Ketiga adalah terkait ketertiban dan keamanan sosial masyarakat sekitar Ponpes Al-Zaytun. Mahfud mengatakan, masalah ini menjadi tanggung jawab Gubernur Jawa Barat, bersama aparat penegak hukum daerah untuk menjaga kondusivitas, ketertiban sosial dan keamanan sosial.
"Nah kita pasrahkan yang di lapangan tolong dikoordinasikan dengan seluruh aparat, kalau perlu koordinasi dengan pusat soal hal tertentu kita buka jalur dengan pak gubernur," kata dia.
(Penulis : Singgih Wiryono, Nirmala Maulana Achmad | Editor : Icha Rastika, Sabrina Asril)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.