Kartosuwiryo merupakan salah satu sahabat Presiden pertama RI, Soekarno. Dia sempat tinggal di indekos milik Haji Oemar Said Tjokroaminoto di Gang Peneleh, Surabaya, 2 tahun setelah Soekarno pindah.
Bahkan, Kartosuwiryo sempat menjadi asisten pribadi Tjokroaminoto.
Baca juga: Kabareskrim: Dugaan Penistaan Agama di Ponpes Al Zaytun Akan Didalami
Gerakan itu merupakan tanggapannya terhadap sikap pemerintahan RI yang dipimpin Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang menyetujui perjanjian Renville (8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948).
Alhasil Kartosuwiryo memproklamirkan gerakan Darul Islam dan mendirikan NII. Langkahnya diikuti oleh Abu Daud Berueueh di Aceh, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, dan Amir Fatah di Jawa Tengah.
Setelah Kartosuwiryo ditangkap dan dieksekusi pada 1962, gerakan NII pecah menjadi 2 kelompok. Pertama adalah NII Fillah yang merapat kepada rezim Orde Baru dan dibina oleh tokoh intelijen Ali Moertopo.
Kelompok NII Fillah digunakan oleh Orde Baru untuk melakukan kampanye anti-komunisme dan merebut suara umat Islam buat mendukung pemerintah dalam setiap pemilihan umum.
Sedangkan kelompok NII Sabilillah masih berupaya melanjutkan pemikiran Kartosuwiryo dengan mengupayakan mendirikan negara Islam.
Baca juga: Jokowi Bantah Istana Beri Beking untuk Ponpes Al Zaytun
Kelompok NII Sabilillah kemudian berkembang menjadi 9 faksi atau komandemen wilayah (KW) yang Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Lampung, dan Jakarta.
Di antara faksi NII Sabilillah, faksi NII KW9 yang dipimpin Panji Gumilang disebut menyimpang jauh dari misi dan falsafah awal gerakan NII.
Kelompok itu disebut memperbolehkan anggota tidak shalat, serta melakukan hal yang dilarang agama dengan membayar sejumlah uang sebagai hukuman pengganti.
Bahkan, orang-orang yang terpapar doktrin NII KW9 disebut-sebut diperbolehkan melawan orangtua, mencuri, ataupun meninggalkan shalat.
Baca juga: Babak Baru Kontroversi Ponpes Al Zaytun: Mahfud Sebut 3 Langkah Penyelesaian, Polri Turun Tangan
Tak hanya itu, para anggotanya pun diwajibkan membayar iuran bulanan dalam jumlah ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Akibatnya, tak jarang para anggota yang kebanyakan mahasiswa, harus berutang ke sana kemari atau bahkan mencuri demi tuntutan membayar iuran itu.
Doktrin itu juga diyakini merusak ikatan kekeluargaan dan sosial kemasyarakatan antara sesama umat Islam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.