MASIH hidupkah Pancasila? Masih bergunakah 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila? Benarkah Pancasila mendasari sistem dan moral bernegara kita?
Pertanyaan bernada menggugat itu masih bisa diperpanjang. Rasa-rasanya Pancasila hanya digdaya di atas kertas sebagai retorika, tapi terseok-seok di kehidupan nyata sebagai sistem dan moral bernegara.
Mari kita merefleksikan fenomena di beberapa tahun terakhir.
Di satu tahun terakhir saja dua lembaga negara yang menjadi pilar reformasi “roboh”: Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
MK dan KPK lahir dari rahim reformasi. Dari koreksi atas reduksionisme Pancasila oleh Orde Baru.
MK dan KPK dibuat agar negara tidak digerogoti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penyakit kronis Orde Baru. KKN membuat rakyat tak kunjung menikmati kesejahteraan yang dijanjikan kemerdekaan.
Namun, ironis dan tragis. Dua lembaga negara anak kandung reformasi ambruk hampir bersamaan justru akibat KKN pucuk pimpinannya.
Di MK, Anwar Usman dicopot dari jabatan Ketua MK. Ia melakukan pelanggaran etik berat, ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo.
Tindakannya dinilai menabrak aturan dan etika. Implikasinya mendalam sekali bagi sistem dan moral bernegara. Tindakan Anwar Usman berujung pada carut-marut Pemilu 2024 dan legitimasinya.
KPK juga “roboh”. Ketuanya, Firli Bahuri, ditetapkan sebagai tersangka.
Aneh bin ajaib. Firli diduga memeras mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL). Bisa-bisanya pemimpin KPK melakukan pemerasan yang mestinya diberantasnya.
Mari kita ikuti persidangan SYL. Dari persidangan diketahui betapa mantan Menteri Pertanian itu memperlakukan kekuasaan seakan-akan milik keluarga.
Pembelian kacamata, perawatan kulit, renovasi rumah, sunatan cucu, membayar pembantu serta pengeluaran keluarga lainnya seakan menjadi tanggungan Kementerian Pertanian.
Yang juga menjengkelkan publik, dari persidangan SYL terkuak pula tindakan menyimpang seorang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ia disebut meminta uang untuk opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Kementerian Pertanian, karena status WTP Kementerian Pertanian terganjal program “food estate” (Kompas.com, 10/05/2024).
Saat ini, mantan Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, sedang didakwa menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat (AS), setara Rp 40 miliar.
Uang itu disebut untuk mengondisikan temuan BPK dalam proyek penyediaan infrastruktur “base transceiver station” (BTS) 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Di persidangan tiba-tiba Qosasi mengaku khilaf dan minta maaf (Kompas.com, 28/05/2024).
Status WTP yang seringkali dibangga-banggakan oleh pemimpin pemerintahan ternyata bisa diperjualbelikan. Temuan BPK bisa dikondisikan.
Korupsi SYL lalu menambah panjang deret korupsi menteri yang tertangkap. Sebelumnya, pada pemerintahan Presiden Joko Widodo saja ada Juliari Batubara (mantan Menteri Sosial), Idrus Marham (mantan Menteri Sosial), Imam Nahrawi (mantan Menpora), Edhy Prabowo (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan), Johnny Gerard Plate (mantan Menkominfo).
Korupsi menteri tentu saja melibatkan para pihak, baik dari pejabat pemerintah maupun swasta. Terkesan ada persekongkolan jahat untuk mengeruk kekayaan negara demi kepentingan sendiri.
Di lembaga kehakiman dan kejaksaan pun demikian, tak bersih dari korupsi. Menyasar pula sejumlah hakim dan jaksa.
Setali tiga uang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Data di KPK sejak 2004 hingga Juli 2023 menyebutkan, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD.
Jumlah ini terbanyak ketiga, di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta dan pejabat eselon I-IV (Kompas.com, 19/07/2023).
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan peningkatan jumlah kasus korupsi di Indonesia tiga tahun terakhir.
Tahun 2021 tercatat 533 kasus, dengan 1.173 tersangka. Meningkat pada 2022, sebanyak 579 kasus, dengan 1.396 tersangka. Pada 2023 meningkat lagi menjadi 791 kasus, dengan 1.695 tersangka (Kompas.com, 19/05/2024).
Sungguh mengerikan sekaligus memprihatinkan. Korupsi telah menjerat lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.